MAKALAH : TUGAS AGAMA ISLAM #3



#3
BAB III
AL – HADITS

( Dayang Weni Lisdarsih, Desi Ariati, Yennie Armeina, Tio Galian Asta )

A.     Pengertian Dan Perbedaan Al-Sunnah Dengan Al-Hadits
Al-hadits adalah perkataan (sabda), perbuatan, ketetapan dan persetujuan dari Nabi.
Muhammad SAWyang dijadikan landasan syariat islam. Hadits dijadikan sumber hukum islam selain Al-Quran yang mana kedudukan haditsmerupakan sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an.
Kedudukannya yang lebih lengkap adalah sebagai berikut :
·         Al-Qur’an
·         Hadits
·         Ijtihad
·         Ijma (kesepakatan para ulama)
·         Qiyas (menetapkan suatu hokum atas perkara baru yang belum ada pada masa Nabi Muhammad hidup).


Hadits secara harfiah berarti ‘berbicara’, ‘perkataan’, atau ‘percakapan’. Dalam terminologi islam, istilah hadits berarti melaporkan, mencatat sebuah pernyataan dan tingkah laku dari Nabi Muhammad SAW.
Menurut istilah ulama ahlihadits, Hadits yaitu apa yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapannya, sifatjasmani atau sifat akhlak, perjalanan setelah diangkat sebagai Nabi dan terkadang juga sebelumnya, sehingga arti hadits semakna dengan sunnah.
Kata hadits yang mengalami perluasan makna sehingga disinonimkan dengan sunna, maka pada saat ini bias berartisegala perkataan (sabda), perbuatan, ketetapan mauppun persetujuan dari Nabi Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan ataupun hukum.
Pengertian, al-sunnah merupakan perbuatan atau perjalanan yang pernah dilalui baik yang tercela maupun yang terpuji.
Jadi perbedaan antara Al-Hadits dan Al-Sunnah adalah :
ü  Menurut Ulama Ushul Fiqih,
Sunnah Nabi sebagai segala sesuatu yang dating dari Nabi Saw, selain al-qur’an, baik berupa ucapan, perbuatan dan taqrir nabi yang layak untuk dijadikan dalil hukum syar’I, jadi menurut ulama ushul, tidak semua hadits dapat dinyatakan sebagai sunnah nabi.
ü  Menurut Prof. Hasbi Shidqi
Sunnah merupakan sebagai garis kerja dan jalan yang diikuti. Maka yang dinamakan sunnah nabi ialah jalan yang beliau praktekkan terus menerus dan diikuti oleh para sahabatnya. Sedangkan, hadits menunjuk kepada perkataan yang diriwayatkan oleh seseorang atau duaorang, serta tidak menjadi pegangan atau amalan umum.

B.Metode Memahami Hadist
Dalam memahami hadist nabi, kita sebagai umat Islam tidak boleh keliru dalam menafsirkan, karena jika kita sampai salah dalam memahami hadist maka maksud hadist tersebut bisa menjadi salah dan akhirnya juga bisa menimbulkan fitnah bagi umat Islam. Oleh karena itu, dalam memahami hadist diperlukan ilmu dan cara-cara tertentu sehingga maksud dari hadist nabi tetap benar dan tidak terjadi kesalahpahaman.
1.      Memahami Hadist Nabi Sesuai Dengan Petunjuk Al-Qur’an
Untuk dapat memahami as-sunnah dengan pemahaman yang benar, jauh dari penyimpangan, pemalsuan dan penafsiran yang keliru, maka haruslah kita memahaminya sesuai dengan petunjuk Al-Quran yaitu dalam kerangka bimbingan ilahi yang kebenaran dan keadilan yang bersifat pasti, sebagaimana di terangkan dalam surat Q.S. Al-Anam: 115
“Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (AL-Qur’an) sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat mengubah kalimat-kalimatnyadan dialah yang Maha mendengar lagi maha mengetahui.”
Al-Qur’an adalah roh eksisitensi islam dan asal bangunanya. Ia adalah konstintusi ilahi yang menjadi rujukan bagi setiap perundang-undangan dalam islam. Adapun sunnah Nabi adalah penjelasan terinci bagi konstitusi tersebut, baik secara konstitusi tersebut, baik secara teoritis maupun praktis.
Tugas seorang Rasul adalah menjelaskan pada manusia risalah yang diturunkan untuk mereka. Oleh karena itu mereka tidak mungkin sebuah “penjelasan” bertentangan dengan apa yang hendak dijelaskan.atau sebuah sebuah “cabang” bertentangn dengan pokok. Penjelasan nabi senantiasa berkisar pada Al-Qur’an dan tidak pernah melampauinya. Oleh sebab itu tidak ada sunah yang sokhih yang bertentangan dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang mukhamat keterngan-keteranganya yang jelas.
Jika sebagian orang menganggap adanya pertentangan, hal itu disebabkan hadistnya yang tidak sokhih atau pemahaman kita yang kurang atau tidak benar, atau pertentangan tersebut bersifat semu, bukan hakiki. Inni berarti bahwa semua sunnah harus dipahami dalam konteks Al-Quran.
Atas dasar ini, hadist palsu ditolak karena bertentangan dengan Al-Qur’an yang mengancam kaum musyrik berkenaan dengan tuhan-tuhan mereka yang palsu. Bagaimana ada dalam konteks Al-Qur’an yang berisi celaan dan kecaman terhadap berhala-berhala, dan ada ungkapan yang memuji mereka.
Jika terdapat perbedaan paham dikalangan para fuqaha dalam menyimpulkan makna-makna hadist, yang paling baik adalah apa yang didukung oleh Al-Quran. Perhatikan firman Allah dalam QS Al-An’am: 141
“Dan dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon kurma, tanaman-tanaman yang bermacam-macam buahn ya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya), dan tidak sama (rasanya). Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya dengan dikeluarkan zakatnya.”
Ayat Makkyiah itu menjelaskan secara terperinci maupun global bahwa pada semua yang tumbuh di muka bumi terdapat hak-hak yang harus ditunaikan. Penjelasan terperinci tersebut kemudian diterangkan dalam Al-Quran dan As-Sunnah dalam tema yang disebut dengan zakat.
Meskipun demikian ada beberapa fuqaha yang membatasi zakat tumbbuh-tumbuhan pada empat jenis dari biji-bijian, dan buah-buahan, atau pada makanan pokok pada kondisi normal, bukan pada masa paceklik atau hasil yang dikeringkan, ditakar, dan disimpan. Mereka menafikkan zakat pada buah-buahan lainya dan sayuran, hasil perkebunan, kopi, dan teh, apel, mangga, kapas, tebu, dan sebagainya. Yang menghasilkan ribuan atau bahkan jutaan uang bagi para pemiliknya.
Dalam hal ini kita harusnya kagum pada pendapat Al Imam Abu Bakar ibn Ar-Rabbani, pemuka mazhab Maliki pada masanya. Dia menguraikan ayat tersebut dalam Ahkam Al-Quran dan menjelaskan pendapat ketiga mazhab fiqh Malik Asy-Safi’i dan Ahmad tentang tumbuhan apa saja yang wajib dizakatidan yang tudak, Ia merujuk pada sabda nabi Muhamad SAW, yang bersifat umum : “pada tanaman yang diairi hujan, zakatnya sepersepuluh. Adapun pendapat Imam Ahmad bahwa zakat tanaman hanya diwajibkan pada tanaman yang ditakar sesuai dengan sabda nabi SAW :    
                      ﻮ ﻠﻳﺲ ﺩﻮﻥ ﺧﻣﺲ ﺃﻮﺍﻕ ﺻﺪﻗﺔ                                                      “Tidak ada kewajiban zakat pada apa saja yang kurang dari lima Ausaq”
Adalah lemah. Sebab, hadist itu secara lahir menunjukkan bahwa nisab yang diisyaratkan untuk buah-buahan dan biji-bijian.Sedangkan gugurnya kewajiban zakat untuk selain keduanya, tidak dapat diambil kesimpulan dari hadist itu. Demikian pula, pendapat pendapat yang mengkhususkan zakat pada biji-bijian yang merupakan makanan pokok saja, sebagaiman mazhab Syafi’i, sama sekali tidak berdasar.
2.      Menghimpun Hadist-Hadist Yang Temanya Sama
Untuk berhasil memahami hadist secara benar, kita harus menghimpun semua hadist shohih yang berkaitan dengan suatu tema tertentu. Kemudian mengembalikan kandungannya yang mutasyabih kepada yang muhkam, mengaitkan yang mutlaq dengan yang muqayyad, dan menafsirkan yang ‘am dengan yang khash. Dengan cara itu, dapatlah dimengerti maksudnya dengan lebih jelas dan tidak dipertentangkan antara hadist yang satu dengan yang lainnya.
Dan sebagaimana telah ditetapkan bersama, bahwa as-sunnah menafsirkan Al-Quran dan menjelaskan makna-maknanya, dalam arti bahwa as-sunah merinci bahwa apa yang dinyatakan oleh Al_Qur’an secara garis besarnya saja, menafsirkan bagian-bagiannya yang kurang jelas, mengkhusukan apa yang disebutnya secara umum dan membatasi apa yang disebutnya secara lepas (muthlaq), maka sudah barang tentu, ketentuan-ketentuan seperti itu harus pula diterapkan antara hadist yang satu dengan yang lainnya.
Sebagai contoh, hadist-hadist yang berkenaan dengan larangan mengenakan sarung sampai di bawah mata kaki, yang mengandung ancaman yang cukup keras bagi pelakunya. Yaitu hadist-hadist yang dijadikan sandaran oleh sejumlah pemuda yang amat bersemangat untuk menunjukkan kritik yang tajam terhadap siapa-siapa yang tidak memendekkan staub (baju)nya sehingga di atas mata kaki. Sedemikian bersemangatnya mereka sehingga hampir-hampir menjadikan masalah memendekkan staub ini sebagai syiar Islam yang terpenting sehingga apabila menyaksikan seorang alim atau dai muslim yang tidak memendekkan staub-nya seperti yang mereka lakukan, maka mereka akan mencibirnya dalam hati dan adakalanya menuduhnya secara terang-terangan sebagai seorang yang kurang beragama.
Padahal, seandanya mereka mau mengkaji sejumlah hadist yang berkenaan dengan masalah ini, lalu menghimpun antara yang satu dengan yang lainnya, sesuai dengan tuntutan agama Islam kepada para pengikutnya dalam soal-soal yang menyangkut kebiasaan hidup sehari-hari, niscaya mereka akan mengetahui apa sebenarnya yang dimaksud oleh hadist-hadist seperti itu. Dan sebagi akibatnya, mereka akan mengurangi kategaran sikap mereka dan tidak menyimpang terlalu jauh dari kebenaran, serta tidak mempersempit sesuatu yang sebetulnya telah dilapangkan oleh Allah swt bagi manusia.
Hal ini sesuai dengan hadist yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Dzar r.a. bahwa Nabi saw, pernah bersabda:
Tiga jenis manusia yang kelak pada hari kiamat tidak akan diajak bicara oleh Allah: (1) Seorang mannan (pemberi) yang tidak memberi sesuatu kecuali yang untuk diungkit-ungkit; (2) Seorang pedagang yang berusaha melariskan barang dagangannya dengan mengucapkan sumpah-sumpah bohong; dan (3) seorang yang membiarkan sarungnya yang terjulur sampai di bawah kedua mata kakinya.”
Yang dimaksud dengan sarung dalam hadist tersebut, ialah kaki seseorang yang sarungnya terjulur sampai di bawah mata kakinya. Ia akan dimasukkan ke neraka, sabagai hukuman atas perbuatannya. Akan tetapi bagi seseorang yang sempat membaca semua hadist yang berkenaan dengan masalah ini, akan mengetahui apa yang di-tarjih-kan oleh An-Nawawi, Ibnu hajar, dan lain-lainnya, bahwa yang dimaksud di sini adalah sikap sombong yang menjadi motivasi orang yang menjulurkan sarungnya. Itulah yang diancam dengan hukuman yang keras.
Hal ini sesuai dengan hadist nabi yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar, dari Nabi saw, katanya:
Barang siapa menyeret sarungnya (yakni menjulurkanya sampai menyentuh atau hampir menyentuh tanah) karena sombong, maka Allah tidak akan memandang padanya, pada hari kiamat.

Al-bukhari juga menguraikan dalam bab yang sama dari Abu Bakrah, katanya : “Kami sedang bersama Rasulullah ketika terjadi gerhana matahari. Beliau berdiri lalu berjalan menuju masjid sambil menyeret sarungnya karena tergesa-gesa.
Dan dari Abu Hurarah pula, bahwa Nabi SAW bersabda:
“Seorang lelaki sedang berjalan dan berpakaian amat mewah yang membuat dirinya sendiri merasa kagum, sementara rambutnya sendiri tersisir rapi, ketika ia tiba-tiba ditelan oleh longsoran tanah. Maka ia terus-menerus berteriak sampai hari kiamat”
Dari riwayat tersebut secara jelas nabi Muhamad SAW menekankan soal membanggakan diri soal membanggakan diri sebagai salah alasanya. Dengan demikian, tak akan ada ruang lagi bagi siapapun yang mentakwilkanya. Syaikh An-Nawawi dikenal sebagai seorang tokoh yang tidak suka mempermudah, bahkan ia seperti yang diketahui oleh para peneliti, cenderung memilih penilaian yang lebih ketat dan lebih berhati-hati. Ketika menguraikan hadist tentang orang yang menjulurkan sarungnya, Ia berkata: “Adapun yang dimaksud dalam sabda Nabi SAW, sebagai orang yang menjulurkan sarungnya itu menyentuh atau hampir menyentuh tanah, sambil menyeret dengan sikap sombbong, makna tersebut dapat diketahui dari hadist lainya yang berbunyi Allah tidak akan memandang kepada orang yang menyeret staubnya dengan maksud menyombongkan diri.”
Dan telah berkata al-Hafizd Al-Faqih Ibn’Abd Al-Bar, apabila perbuatan menyeret sarung tersebut bukan karena kesombongan, maka ancaman terhadapnya itu tidak akan berlaku, walaupun pada dasarnya perbuatan menyeret gamis atau jenis pakaian lainya tetap tercela dalam keadaan apapun.
Karena itu yang dipentingkan oleh agama ini dan yang ditujukan menjadi perhatian terbesar adalah niat dan motivasi yang ada di balik suatu perbuatan lahiriah. Dan yang sangat ingin ditentang di sini adalah kesombongan, keangkuhan, kepongahan, kebanggaan diri, dan sebagainya yang semua itu termasuk penyakit hati dan penyimpangan kejiwaan yang tak seorang pun akan masuk surga apabila di dalam dirinya bersemayam perasaan seperti itu walaupun hanya sebesar zarrah.
3.      Memahami Hadist Sesuai Dengan Latar Belakang, Situasi, Kondisi, Serta Tujuannya
Salah satu metode yang tepat dalam memahami sunnah Nabi SAW adalah melihat sebab-sebab khusus atau alasan tertentu yang menjadi latar belakang atau alasan tertentu dalam suatu hadist, baik yang tersirat maupun yang tersurat, atau yang dipahami dari kejadian yang menyertainya.
Siapapun yang melakukan kajian dengan seksama, akan menemukan bahwa ada hadist yang didasarkan pada kondisi waktu tertentu untuk mencapai kemaslahatan yang diinginkan untuk dicapai atau untuk menolak bahaya tertentu, atau untuk mennyelesaikan suatu masalah yang muncul pada saat itu. Artinya, bahwa hukum yang terdapat dalam suatu hadist adakalanya bersifat umum dan permanen. Namun, jika dikaji lebih lanjut hukum tersebut terkait dengan alasan (‘illat) tertentu sehingga hukun itu tidak akan berlaku jika alasanya ada.
Hal ini membutuhkan pengetahuan yang mendalam, pandangan yang teliti dan kajian yang komprehensif atas teks-teks hadist. Ditambahwawasan yang luas atas tujuan-tujuan syariat dan hakikat agama. Di samping itu juga diperlukan keberanian moril juga kekuatan jiwa untuk menegakkan kebenaran., sekalipun bertentangan dengan kebiasaan atau tradisi masyarakat. Tentu semua ini bukan hal yang mudah.
Untuk mengetahui dan memahami hadist dengan baik dan mendalam, kita perlu mengetahui konteks yang menjelaskan situasi dan kondisi munculnya suatu hadist, sehingga diketahui maksud hadist tersebut dengan seksama, bukan atas dasar perkiraan semata atau dipahami sesuai dengan makna lahiriah yang jauh dari tujuan semata dan sebenarnya.
Jika Asbabun an-nuzul diperlukan dalam memahami dan menafsirkan Al-Quran, maka As-Babun wurud lebih diperlukan lagi dalam memahami hadist. Al-Quran paada prinsipnya bersifat universal dan abadi, sehingga tidak membicarakan hal-hal yang bersifat partikular, terperinci, dan temporer, kecuali untuk mengambil prinsip tertentu dan pelajaran. Sementara sunah nabi banyak menyinggung hal-hal yang bersifat lokal, partikular, dan temporal, sehingga banyak menyebut hal-hal khusus dan terperinci yang tidak ada dalam Al-Qur’an sebab itu perlu di bedakan antara hal yang bersifat khusus ddan umum, yang sementara dan yang abadi, yang partikular, dan universal. Masing-masing mempunyai hukum tersendiri. Memerhatikan konteks, situasi, dan kondisi, serta sebab-sebab suatu hadistakan membantu pemahamanyang benar bagi mereka yang mendapat pertolongan Allah SWT
4.      Pemahaman Hadist Antara Hakikat Dan Majaz
Bahasa Arab seringkali menggunakan ungkapan dalam bentuk majaz (kiasan, metafor). Dalam ilmu balaghah (retorika) dinyatakan bahwa umgkapan dalam bentuk majaz, lebih berkesan ketimbang dalam bentuk hakiki atau biasa. Adapaun Rasul yang mulia adalah penutur bahasa Arab yang paling menguasai balaghah. Ucapan-ucapannya adalah bagian dari wahyu, maka tidak mengherankan jika hadist-hadist Beliau banyak menggunakan majaz untuk mengungkapkan maksud Beliau dengan cara yang sangat mengesankan.
Pengertian majaz di sini mencakup majaz lughawi, aqli, isti’arah, kinayah, dan berbagai ungkapan lainnya yang tidak menunjukkan makna secara langsung, tetapi hanya dapat dipahami dengan berbagai indikasi yang menyertainya, baik yang bersifat tekstual maupun kontekstual. Termasuk di dalamnya kepercayaan imajiner yang dinisbatkan pada binatang, burung, benda mati, serta makna abstrak tertentu.
Dalam keadaan tertentu, adakalanya pemahaman berdasarkan majaz merupakan suatu keharusan. Jika tidak dipahami dalm makna majaz artinya akan menyimpang dari makna yang dimaksud dan akan terjadi kekeliruan dalam penafsiran. Ketika Rasul saw berkata pada istri-istri Beliau;
“Yang paling cepat menyusulku diantara kalian sepeninggalanku adalah yang paling panjang tangannya.”
Mereka mengira yang dimaksud adalah orang yang tangannya paling panjang. Karena itu, seperti dikatakan Aisyah r.a. mereka saling mengukur siapa diantara mereka yang tangannya paling panjang. Padahal Rasulullah saw tidak bermaksud seperti itu, yang dimaksud dengan Beliau dengan tangan yang paling panjang adalah yang paling baik dan paling dermawan. Sabda Nabi tersebut memang sesuai dengan fakta dikemudian hari, diantara istri-istri Beliau yang paling cepat meninggal dunia setelah Beliau adalah Zainab binti Zahsyi r.a. ia dikenal sebagai wanita yang sangat trampil bekerja dengan kedua tangannya dan suka bersedekah.
5.      Memastikan Makna Istilah Dalam Hadist
Untuk memahami hadist dengan baik, penting sekali untuk memastikan makna yang ditunjukkan oleh kata-kata hadist. Sebab, makna kata-kata tersebut bisa berubah dari waktu ke waktu, dari suatu lingkungan ke lingkungan yang lain. Hal ini dilketahui oleh mereka yang mempelajari perkembangan bahasa dan kata-katanya serta pengaruh waktu dan tempat.
Sebagian orang menggunakan kata-kata tertentu untuk menunjukkan makna tertentu. Hal ini dapat menjadi masalah. Tetapi yang dikhawatirkan adalah mereka menafsirkan kata-kata yang digunakan dalam hadist dan Al-Quran sesuai dengan istilah sekarang, akibatnya akan timbul kekacauan dan kekeliruan.
Dalam perkembanganya, perubahan ini semakin meluas seiring dengan perubahan waktu, perbedaan tempat, dan kemajuan manusia sehingga terjadi perbedaan yang sangat besar antara makna asli dalam syariat dan  maknanya yang baru. Disinilah kemudian timbul kekeliruan dan kesalahpahaman yang tidak disengaja, disamping ada penyimpangan dan distorsi yang disengaja.
Itulah yang diperingatkan oleh para peneliti, yakni agar makna terminologis dalam syariat tidak diganti dengan istilah kontemporer sepanjang zaman. Siapapun yang tidak mengindahkan ketentuan ini pasti akan mengalami banyak kekeliruan, sebagaimana yang kita lihat sekarang.
Sebagai contoh kata tashwir (pembuatan gambar) yang disebutkan dalam beberapa hadist yang kesahihanya disepakati. Apa yang dimaksud dengan tashwir dalam hadist-hadist yang mengancam para pelaku (mushawwir) dengan sanksi yang sangat pedih? Yang menekuni hadist dan fikih, termasuk kedalamnya ancaman tersebut semua orang dalam istilah tersebut sekarang disebut fotografer (dalam bahasa Arab disebut-mushawwir-penerjemah), yaitu mereka yang menggunakan kamera dalam pemotretan.
Apakah pemaknaan mushawwir dengan fotografer dan profesi mereka disebut tashwir, adalah istilah kebahasaan (etimologi)? Tidak ada seorangpun yang berpandangan bahwa makna itu muncul dalam pikiran orang Arab ketika mereka membuat istilah itu. Oleh karena itu, istilah itu bukan istilah kebahasaan.
Demikian juga tidak ada seorang pun yang memahami bahwa istilah keagamaan, karena seni fotografi belum dikenal pada masa awal Islam. Bagaimana mungkin kata mushawwir dimaknai fotografer, padahal ketika itu istilah tersebut belum muncul, kalau begitu siapa yang menamai orang yang berkecimpung dalam dunia fotografi dengan sebutan mushawwir, yang profesinya disebut tashwir?
Ia adalah istilah baru yang yang diciptakan oleh orang-orang sebelum kita, ketika seni fotografi sudah muncul, kemudian mereka memaknai tashwir dengann fotografi. Bisa juga mereka menamainya dengan istilah lain seperti ‘ask (pantulan) dan pelakunya disebut ‘akkas (pemantul gambar) seperti istilah yang digunakan penduduk Qatar kawasan teluk. Apabila pergi ke tempat tukang foto (‘akkas), mereka akan berkata: ”Saya minta anda melakukan ‘ask untuk saya (yakni mengambil foto dirinya).” Sesudah itu dia  berkata kepdanya: “Kapan saya mengambil al-‘ukus (fotoku)?” Barangkali istilah yang mereka gunakan itu lebih dekat kepada arti pekerjaan itu. Sebab pada hakikatnya, hal itu tidak lebih dari memantulkan gambar dengan cara tertentu, seperti halnya gambar sesuatu yang terpantul dalam cermin.
Sebagaimana orang-orang sekarang menamakan gambar fotografi (dalam bahasa Arab) sebagai tashwir, mereka juga menyebut tashwir mujassam (gambar berbentuk tiga dimensi) dengan istilah naht (pahatan), yaitu yang oleh para ulama dahulu disebut ‘gambar yang mempunyai bayangan’ dan yang mereka sepakati hukumnya haram, kecuali boneka mainan anak-anak.

C.     Unsur-Unsur Hadits

1.    Sanad

Sanad atau thariq ialah jalan yang dapat menghubungkan matnu’l hadits kepada junjungan kita Nabi Muhammad s.a.w.  Misalnya seperti kata Al-Bukhari:

 “Telah memberitakan kepadaku Muhammad bin a]-Mutsanna, ujarnya: “‘Abdul-Wabhab ats-Tsaqafy telah mengabarkan kepada­ku, ujarnya:” telah bercerita kepadaku Ayyub atas pemberitaan Abi Qilabah dan Anas dari Nabi Muhammad s.a. w., sabdanya:
“Tiga perkara, yang barangsiapa mengamalkannya niscaya mem­peroleh keledzatan iman yakni: (1) Allah dan Rasui-Nya hendaknya lebih dicintai daripada selainnya. (2) Kecintaannya kepada seseorang, tak lain karena Allah semata-mata dan (3) Keengganannya kembali kepada ke­kufuran, seperti keengganannya dicampakkan ke neraka”.

Maka matnu’l-Hadits “Tsalatsun” sampai dengan “an yuqdzafa finnar” ditenima oleh al-Bukhari melalui sanad pertama Muhammad ibnu’l.Mutsanna, sanad kedua ‘Abdul-Wahhab­ Ats-Tsaqafy, sanad ketiga Ayyub, sanad keempat Abi Qilabah dan seterusnya sampai sanad yang terakhir, Anas r.a., seorang sababat yang langsung menenima sendiri dari Nabi Muhammad saw.
Dapat juga dikatakan bahwa sabda Nabi tersebut djsampaikan oleh shahabat Anas r.a. sebagai rawi pertama, kepada Abu Qilabah, kemudian Abu Qilabah sebagai Rawi kedua me­nyampaikan kepada Ats Tsaqafy, dan Ats-Tsaqafy sebagai rawi keempat menyampaikan kepada Muhammad Ibnu’l-Mutsanna. hingga sampai kepada Al-Bukhary sebagai rawi terakhir.  Dengan demikian, A1-Bukhari itu menjadi sanad pentama dan rawi terakhir bagi kita.
Dalam bidang ilmu Hadits sanad itu merupakan neraca untuk menimbang shahih atau dla’ifnya suatu hadits. Andaikata salah ­seorang dalam sanaa-sanad itu ada yang fasik atau yang tertuduh dusta maka, dla’iflah hadits itu, hingga tak dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan suatu hukum.

2.    Matnul Hadits (Matan Hadits)

Matan hadits adalah pembicaraan atau materi berita yang terdapat di dalam sanad terakhir.  Baik isinya itu berupa sabda Rasulullah saw, ungkapan sahabat tentang Rasulullah saw, ataupun tabi’in yang menceritakan tentang perbuatan sahabat atau Nabi.  Ringkasnya, matan itu adalah isi dari teks hadits tersebut.  Misalnya, Al Hakim meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda :
“Penghulu syuhada adalah hamzah dan orang yang berdiri di hadapan penguasa untuk menasihatinya lantas ia dibunuh karenanya.”  Pernyataan demikian merupakan matan dari hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al Hakim tersebut.
     Contoh lain, Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda : “Masyarakat itu berserikat dalam 3 barang : air, padang gembalaan, dan api.”  Isi dari hadits tersebut merupakan matan hadits yang diriwayatkan oleh kedua perawi hadits itu.

3.    Rawi

Yang dimaksud dengan rawi ialah orang yang menyampaikan atau menuliskan dalam suatu kitab apa yang pernah didengar atau diterimanya dari dari seorang  (gurunya).Bentuk jamaknya yaitu ruwat, perbuatan menyampaikan hadits tersebut dinamakan me-rawi  (riwayat) kan hadits.
Hadits tersebut diatas , kita temukan pada kitab hadits yang disusun oleh imam bukhari yang bernama : الجامع الصحيح (aljami’u as-shahih) atau lebih dikenal dengan  صحيح البخارى (shahih bukhari). Hadits tersebut telah diriwayatkan oleh beberapa orang rawi, yakni :
1.      Ibnu umar ra. ……………....……sebagai rawi pertama.
2.      Ikrimah bin khalid ……………….sebagai rawi kedua.
3.      Handhalah bin abi sufyan ……..sebagai rawi ketiga.
4.      Ubaidullah bin musa …………..sebagai rawi keempat.
5.      Imam bukhari ………………….sebagai rawi kelima atau rawi terakhir.
Imam bukhari di sini, selain disebut sebagai rawi kelima atau terakhir, juga disebut sebagai “mukharrij”, yakni orang yang telah menukil atau mencatat hadits tersebut pada kitabnya yang bernama “al-jami’us shahih”. Dengan kata lain imam bukharilah sebagai pentakhrij dari hadits tersebut.
Sebenarnya antara sanad dan rawi itu merupakan dua istilah yang tidak dapat dipisahkan. Jika yang dimaksud rawi adalah orang yang meriwayatkan dan memindahkan hadits, akan tetapi yang membedakan antara rawi da sanad ialah terletak pada pembukuan dan pentadwinan hadits. Orang yang menerima hadits dan kemudian menghimpunnya dalam suatu kitab tadwin , disebut dengan perawi. Dengan demikian maka perawi dapat disebut mudawwin (orang yang membukukan dan menghimpun hadits).
·         Tolak Ukur Kesahihan Sanad Hadits
Setelah menyusun keseluruhan sanad yang telah ditakhrij dalam sebuah skema sanad (guna memudahkan pembacaan jaringan sanad hadits yang sedang diteliti), maka untuk selanjutnya dilakukan telaah kritis terhadap sanad hadits tersebut, namun sebelum menetapkan suatu hadits itu sahih atau tidak, diperlukan tolak ukur yang baku (setidak-tidaknya telah dibakukan oleh ulama’ hadits), yaitu yaitu sebagaimana dikemukakan al-nawawi bahwa yang disebut hadits sahih adalah :
ما اتصل سنده بالعدول الضابطين من غير شذوذ ولا علة
Yaitu hadits yang bersambung oleh rawi-rawi yang adil dan dhabit serta terhindar dari syudhut dan illat”.
Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa kaedah kesahihan hadits adalah :
1.      Sanadnya bersambung
Pengertian sanad bersambung adalah tiap-tiap rawi dalam sanad hadits menerima riwayat dari rawi terdekat sebelumnya dan keadaan itu berlangsung sampai akhir sanad.
Sehingga kaedah sanad hadits yang bersambung adalah :
ü  Seluruh rawi dalam sanad benar-benar tsiqah.
ü  Antara masing-masing rawi dengan rawi terdekat sebelumnya dalam sanad benar-benar terjadi hubungan periwayatan secara sah berdasarkan kaedah tahammul wa ada’ al-hadits.
ü  Disamping muttasil juga harus marfu’
2.      Seluruh rawi dalam sanad tersebut adil
Pengertian rawi yang adil adalah :
من استقام دينه وحسن خلقه وسلم من الفسق وجوارم المروءة
“Yaitu rawi yang menegakkan agamanya (islam), serta dihiasi akhlak yang baik, selamat dari kefasikan juga hal-hal yang merusak muru’ah” .
Jadi kaedah rawi hadits yang adil adalah :
a.  Beragama islam dan menjalankan agamanya dengan baik
b.  Berakhlak mulia
c.  Terhindar dari kefasikan
d.      Terpelihara muru’ahny

3.      Seluruh rawi dalam sanad tersebut dhabit
Pengertian rawi yang dhabit adalah :
 Rawi tersebut hafal betul dengan apa yang ia riwayatkan dan mampu menyampaikannya dengan baik hafalannya, ia juga memahami betul bila diriwayatkan senara ma’na, ia memelihara hafalan dengan catatan dari masuknya unsur perubahan huruf dan penggantian serta pengurangan didalamnya bila ia menyampaikan dari catatannya”.
Jadi kaedah rawi yang dhabit adalah :
a. Rawi memahami dengan baik riwayat yang telah didengarnya .
b. Rawi tersebut hafal dengan baik riwayat yang telah diterimanya.
c.    Rawi tersebut mampu menyampaikan riwayat yang telah dihafalnya dengan baik, kapan saja dia kehendaki dan sampai saat dia menyampaikan kembali riwayat tersebut kepada orang lain

D.     Klasifikasi hadits
Hadits dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa kriteria yakni bermulanya ujung sanad, keutuhan rantai sanad, jumlah penutur (periwayat) serta tingkat keaslian hadits (dapat diterima atau tidaknya hadits bersangkutan)
1.    Berdasarkan ujung sanad
Berdasarkan klasifikasi ini hadits dibagi menjadi 3 golongan yakni   marfu (terangkat), mauquf (terhenti) dan maqtu:
·         Hadits Marfu' adalah hadits yang sanadnya berujung langsung pada Nabi Muhammad SAW (contoh: hadits sebelumnya)
·         Hadits Mauquf adalah hadits yang sanadnya terhenti pada para sahabat nabi tanpa ada tanda-tanda baik secara perkataan maupun perbuatan yang menunjukkan derajat marfu'. Contoh: Al Bukhari dalam kitab Al-Fara'id (hukum waris) menyampaikan bahwa Abu Bakar, Ibnu Abbas dan Ibnu Al-Zubair mengatakan: "Kakek adalah (diperlakukan seperti) ayah". Namun jika ekspresi yang digunakan sahabat seperti "Kami diperintahkan..", "Kami dilarang untuk...", "Kami terbiasa... jika sedang bersama rasulullah" maka derajat hadits tersebut tidak lagi mauquf melainkan setara dengan marfu'.
·         Hadits Maqtu' adalah hadits yang sanadnya berujung pada para Tabi'in (penerus). Contoh hadits ini adalah: Imam Muslim meriwayatkan dalam pembukaan sahihnya bahwa Ibnu Sirin mengatakan: "Pengetahuan ini (hadits) adalah agama, maka berhati-hatilah kamu darimana kamu mengambil agamamu".
Keaslian hadits yang terbagi atas golongan ini sangat bergantung pada beberapa faktor lain seperti keadaan rantai sanad maupun penuturnya. Namun klasifikasi ini tetap sangat penting mengingat klasifikasi ini membedakan ucapan dan tindakan Rasulullah SAW dari ucapan para sahabat maupun tabi'in dimana hal ini sangat membantu dalam area perkembangan dalam fikih (Suhaib Hasan, Science of Hadits).

2.    Berdasarkan keutuhan rantai/lapisan sanad
Berdasarkan klasifikasi ini hadits terbagi menjadi beberapa golongan yakni Musnad, Munqati', Mu'allaq, Mu'dal dan Mursal. Keutuhan rantai sanad maksudnya ialah setiap penutur pada tiap tingkatan dimungkinkan secara waktu dan kondisi untuk mendengar dari penutur di atasnya.
Ilustrasi sanad: Pencatat Hadits > penutur 4> penutur 3 > penutur 2 (tabi'in) > penutur 1(Para sahabat) > Rasulullah SAW
·         Hadits Musnad, sebuah hadits tergolong musnad apabila urutan sanad yang dimiliki hadits tersebut tidak terpotong pada bagian tertentu. Yakni urutan penutur memungkinkan terjadinya transfer hadits berdasarkan waktu dan kondisi.
·         Hadits Mursal, bila penutur 1 tidak dijumpai atau dengan kata lain seorang tabi'in menisbatkan langsung kepada Rasulullah SAW (contoh: seorang tabi'in (penutur2) mengatakan "Rasulullah berkata" tanpa ia menjelaskan adanya sahabat yang menuturkan kepadanya).
·         Hadits Munqati', bila sanad putus pada salah satu penutur yakni penutur 4 atau 3
·         Hadits Mu'dal, bila sanad terputus pada dua generasi penutur berturut-turut.
·         Hadits Mu'allaq, bila sanad terputus pada penutur 4 hingga penutur 1 (Contoh: "Seorang pencatat hadits mengatakan, telah sampai kepadaku bahwa Rasulullah mengatakan...." tanpa ia menjelaskan sanad antara dirinya hingga Rasulullah)
3.    Berdasarkan jumlah penutur
Jumlah penutur yang dimaksud adalah jumlah penutur dalam tiap tingkatan dari sanad, atau ketersediaan beberapa jalur berbeda yang menjadi sanad hadits tersebut. Berdasarkan klasifikasi ini hadits dibagi atas hadits mutawatir dan hadits ahad.
·      Hadits mutawatir, adalah hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang dari beberapa sanad dan tidak terdapat kemungkinan bahwa mereka semua sepakat untuk berdusta bersama akan hal itu. Jadi hadits mutawatir memiliki beberapa sanad dan jumlah penutur pada tiap lapisan (thaqabah) berimbang. Para ulama berbeda pendapat mengenai jumlah sanad minimum hadits mutawatir (sebagian menetapkan 20 dan 40 orang pada tiap lapisan sanad). Hadits mutawatir sendiri dapat dibedakan antara dua jenis yakni mutawatir lafzhy (redaksional sama pada tiap riwayat) dan ma'nawy (pada redaksional terdapat perbedaan namun makna sama pada tiap riwayat)
·      Hadits ahad, hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang namun tidak mencapai tingkatan mutawatir. Hadits ahad kemudian dibedakan atas tiga jenis antara lain :
o Gharib, bila hanya terdapat satu jalur sanad (pada salah satu lapisan terdapat hanya satu penutur, meski pada lapisan lain terdapat banyak penutur)
o Aziz, bila terdapat dua jalur sanad (dua penutur pada salah satu lapisan)
o Mashur, bila terdapat lebih dari dua jalur sanad (tiga atau lebih penutur pada salah satu lapisan) namun tidak mencapai derajat mutawatir.
4.    Berdasarkan tingkat keaslian hadits
Kategorisasi tingkat keaslian hadits adalah klasifikasi yang paling penting dan merupakan kesimpulan terhadap tingkat penerimaan atau penolakan terhadap hadits tersebut. Tingkatan hadits pada klasifikasi ini terbagi menjadi 4 tingkat yakni shahih, hasan, da'if dan maudu'
·       Hadits Shahih, yakni tingkatan tertinggi penerimaan pada suatu hadits. Hadits shahih memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1.      Sanadnya bersambung;
2.      Diriwayatkan oleh penutur/perawi yg adil, memiliki sifat istiqomah, berakhlak baik, tidak fasik, terjaga muruah(kehormatan)-nya, dan kuat ingatannya.
3.      Matannya tidak mengandung kejanggalan/bertentangan (syadz) serta tidak ada sebab tersembunyi atau tidak nyata yg mencacatkan hadits.
·       Hadits Hasan, bila hadits yang tersebut sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh rawi yg adil namun tidak sempurna ingatannya, serta matannya tidak syadz serta cacat.
·       Hadits Dhaif (lemah), ialah hadits yang sanadnya tidak bersambung (dapat berupa mursal, mu’allaq, mudallas, munqati’ atau mu’dal)dan diriwayatkan oleh orang yang tidak adil atau tidak kuat ingatannya, mengandung kejanggalan atau cacat.
·       Hadits Maudu, bila hadits dicurigai palsu atau buatan karena dalam rantai sanadnya dijumpai penutur yang memiliki kemungkinan berdusta.
5.    Jenis-jenis lain
Adapun beberapa jenis hadits lainnya yang tidak disebutkan dari klasifikasi di atas antara lain:
·       Hadits matruk, yang berarti hadits yang ditinggalkan yaitu hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang perawi saja dan perawi itu dituduh berdusta.
·       Hadits mungkar, yaitu hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang perawi yang lemah yang bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang tepercaya/jujur.
·       Hadits mu'allal, artinya hadits yang dinilai sakit atau cacat yaitu hadits yang didalamnya terdapat cacat yang tersembunyi. Menurut Ibnu Hajar Al Atsqalani bahwa hadits Mu'allal ialah hadits yang nampaknya baik tetapi setelah diselidiki ternyata ada cacatnya. Hadits ini biasa juga disebut hadits Ma'lul (yang dicacati) dan disebut hadits Mu'tal (hadits sakit atau cacat)
·       Hadits mudlthorib, artinya hadits yang kacau yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi dari beberapa sanad dengan matan (isi) kacau atau tidaksama dan kontradiksi dengan yang dikompromikan
·       Hadits maqlub, yakni hadits yang terbalik yaitu hadits yang diriwayatkan ileh perawi yang dalamnya tertukar dengan mendahulukan yang belakang atau sebaliknya baik berupa sanad (silsilah) maupun matan (isi)
·       Hadits gholia, yaitu hadits yang terbalik sebagian lafalnya hingga pengertiannya berubah
·       Hadits mudraj, yaitu hadits yang mengalami penambahan isi oleh perawinya
·       Hadits syadz, hadits yang jarang yaitu hadits yang diriwayatkan oleh perawi orang yang tepercaya yang bertentangan dengan hadits lain yang diriwayatkan dari perawi-perawi yang lain.
·       Hadits mudallas, disebut juga hadits yang disembunyikan cacatnya karena diriwayatkan melalui sanad yang memberikan kesan seolah-olah tidak ada cacatnya, padahal sebenarnya ada, baik dalam sanad atau pada gurunya. Jadi, hadits Mudallas ini ialah hadits yang ditutup-tutupi kelemahan sanadnya.

E.Kedudukan Hadits terhadap Al-Qur’an
Al-Qur’an merupakan kitab suci yang menjadi pedoman pokok seluruh umat islam disemua penjuru dunia dalam hal syari’at agama. Sebagaimana Al-Qur’an, Hadits pun mempunyai kedudukan tinggi dalam perannya menjadi landasan dasar hukum syariat, yakni menempati kedudukan yang kedua setelah Al-Qur’an.
Hal ini didasarkan pada Firman Allah Surat An Nisa’ ayat 59 :
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Dr. Muhammad Ajjaj al Khotib mengatakan bahwa kedudukan hadits sejajar dengan Al-Qur’an, dengan dalih keberadaannya merupakan wahyu dan hukumnya wajib untuk diamalkan isinya, juga karena fungsi hadits adalah sebagai penjelas dari isi al-Qur’an sendiri, maka tidak mungkin mmemahami  AL-Qur’an tanpa adanya Hadits disampingnya.
Al-hadits atau as-sunnah adalah penafsiran terhadap ajaran Al Qur’an. Ia merupakan implementasi realistis serta ideal dalam Islam. Kepribadian Nabi Muhammad saw. adalah merupakan pengejawantahan Al Qur’an dalam sebuah ajaran Islam.
Sebagaimana hal ini pernah disampaikan oleh Ummul Mu’minin ‘Aisyah ra, tatkala ditanya tentang budi pekerti Rasulullah saw., ia menjawab:
Budi pekertinya adalah Al Qur’an” (HR. Muslim)
Para sahabat telah bersepakat menetapkan wajib ittiba’ terhadap al-hadits, baik tatkala Rasulullah saw masih hidup ataupun sesudahnya. Sehingga al-hadits adalah sebagai pedoman hidup atau sumber hukum setelah Al Qur’an, dan sama sekali tidak boleh diingkari kedudukannya.
Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah” (Al Hasyr: 7)
Begitu penting kedudukan al hadits sampai-sampai Rasululah saw. memberi penghargaan khusus kepada para periwayat dan pengajar hadits.
Rasulullah saw. berdo’a: “Ya Allah, rahmatilah khalifahku”. Wahai Rasulullah, siapakah khalifah tuan? Tanya kami. “Yaitu orang yang meriwayatkan hadits-haditsku dan mengajarkannya kepada manusia”. (HR At-Thabrani)
Adapun kedudukan al hadits terhadap Al Qur’an adalah:
·       Sebagai fungsi untuk menetapkan dan menguatkan Al Qur’an. Sehingga akan didapati hukum yang memiliki dua sumber sekaligus, yaitu dalil yang terdapat dalam Al Qur’an dan dalil penguat yang terdapat dalam hadits nabi saw.
·       Memberikan perincian atau menjelaskan penafsiran ayat-ayat Al Qur’an yang bersifat mujmal (umum), atau memberikan taqyid (syarat) terhadap hal-hal yang muthlaq dalam Al Qur’an, atau memberikan takhshih (pengkhususan) terhadap ayat Al Qur’an yang ‘am (umum).
Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”. (An Nahl: 44)
Maka akan didapati penjelasan tentang tata cara shalat, membayar zakat, ibadah hajji, dan sebagainya dalam hadits-hadits Nabi saw.

Menetapkan hukum yang tidak didapati dalam Al Qur’an.
 Dalam al hadits telah termaktub ajaran yang bersifat:
·       Universal (syumuliyah), yaitu mencakup seluruh lapangan kehidupan manusia beserta dimensinya: ruh/hati, akal dan jasadnya serta dalam dimensi waktu: dahulu, kini ataupun mendatang, juga petunjuk hubungan vertikal (Allah swt) dan horisontal yaitu alam seisinya.
·       Berimbang antara kebutuhan ruh dan tubuh, antara akal dan hati, antara dunia dan akhirat, antara teori dan praktik, antara yang nyata dan ghaib, antara kebebasan dan tanggung jawab, antara individu dan masyarakat, antara mengikuti dan berkreasi.
·       Mudah, sebagaimana hadits: “Sesungguhnya Allah tidaklah mengutusku untuk menyulitkan dan mencari-cari kesulitan, tetapi Dia mengutusku untuk mengajar dan memudahkan” (HR Muslim)

As Sunnah adalah referensi kedua setelah Al Qur’an, ia juga merupakan sumber petunjuk kedua yang tetap akan terpelihara. Petunjuk itu akan terus mengalir ke dalam lapangan syari’ah, hukum dan fiqh, da’wah, pendidikan dan melandasi seluruh sektor kehidupan manusia. Mempelajari ilmu-ilmu hadits merupakan bagian tak terpisahkan dengan integralitas ajaran Islam. Imam Syafi’i berkata: “Demi umurku, soal ilmu hadits ini termasuk tiang agama yang paling kokoh dan keyakinan yang paling teguh. Tidak digemari untuk menyiarkannya selain orang-orang yang jujur lagi taqwa”.

0 komentar:

Posting Komentar


up