Karakteristik Anak Berkelainan
Mental Emosional
BAB I
PENDAHULUAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. TUNAGRAHITA
Anak berkebutuhan khusus yang
mengalami kelainan mental-emosional, yaitu anak tunagrahita,tunadaksa dan
tunalaras.
1.
Karakteristik Tunagrahita
Karakteristik anak tunagrahita, yang
lebih spesifik berdasarkan berat ringannya kelainan dapat dikemukakan sebagai
berikut:
A.
Mampudidik
Mampudidik merupakan istilah
pendidikan yang digunakan untuk mengelompokan tunagrahita ringan. Mampudidik
memiliki kapasitas intelegensi antara 50-70 pada skala Binet maupun Weschler.
Anak mampudidik kemampuan maksimalnya setara dengan anak usia 12 tahun atau
kelas 6 sekolah dasar, apabila mendapat pelayanan dan bimbingan belajar yang
sesuai maka anak mampudidik dapat lulus Sekolah dasar. Tunagrahita mampudidik
umumnya tidak disertai dengan kelainan fisik baik sensori maupun motoris,
sehingga kesan lahiriah anak mampudidik tidak berbeda dengan anak normal
sebaya, bahkan sering anak mampudidik dikenal dengan terbelakang mental 6 jam, hal
ini dikarenakan anak terlihat terbelakang mental sewaktu mengiuti pelajaran
akademik di sekolah saja, yang mana jam sekolah adalah 6 jam setiap hari.
B.
Mampulatih
Tunagrahita mampu latih secara fisik
sering memiliki atau diserati dengan kelainan fisik baik sensori maupun
motoris, bahkan hampir semua anak yang memiliki kelainan dengan tipe klinik
masuk dalam kelompok mampulatih sehingga sangat mudah untuk mendeteksi anak
mampu latih, karena penampilan fisiknya (kesan lahiriah) berbeda dengan anak normal
sebaya. Anak mampulatih memiliki kapasitas intelegensi (IQ) berkisar 30-50,
kemampuan tertingginya setara dengan anak normal usia 8 tahun atau kelas 2 SD.
Kemampuan akademik anak mampulatih tidak dapat mengikuti pelajaran yang
bersifat akademik walaupun secara sederhana seperti membaca, menulis dan
berhitung. Anak mampulatih hanya mampu dilatih dalam keterampilan mengurus diri
sendiri dan aktivitas kehidupan sehari-hari.
C.
Perlu rawat
Anak perlu rawal adalah klasifikasi
anak tunagrahita yang paling berat, jika pada istilah kedokteran disebut dengan
idiot Anak perlu rawat memiliki kapasitas inteligensi di bawah 25 dan sudah
tidak mampu dilatih keterampilan. Anak ini hanya mampu dilatih pembiasaan
(conditioning) dalam kehidupan sehiri-hari. Seumur hidupnya tidak dapat lepas
dari orang lain.
2.
Periode-periode anak tunagrahita
Adapun periode-periode anak tuna grahita adalah sebagai
berikut:
A.
Anak tunagrahita pada periode bayi sampai kanak-kanak (usia pra-sekolah)
Anak tunagrahita sejak lahir sudah
memiliki kemampuan sosial, hanya tingkat kemampuan sosial yang dimiliki anak
tunagrahita lebih rendah dibanding anak normal. Pada bulan kedua, ketiga
setelah kelahirannya, bayi sudah dapat merespon lingkungan. Bayi akan bereaksi
ketika lingkungan memberikan stimulus. Pada anak tunagrahita kesulitan untuk
merespon lingkungan.
Keterbatasan inteligensi yang
dimiliki anak tunagrahita ini, menyebabkan anak kesulitan untuk belajar tentang
lingkungan, sehingga anak menjadi sulit untuk memenukan kepercayaan. Dengan
demikian perkembangan sosial anak tunagrahita mengalami hambatan, anak
mempunyai problem dibidang penyesuaian sosial. Untuk mengatasi ini diperlukan
keberadaan seorang ibu, yang mau menerima anaknya seperti apa adanya, dengan
memberikan rasa aman, kasih sayang dan merawat anak tunagrahita dengan baik.
B.
Anak tunagrahita pada periode sekolah
Pada teori Rotter’s tentang belajar
sosial dikatakan bahwa orang itu mempunyai harapan-harapan untuk sukses.
Kesuksesan ini merupakan reinforcement bagi anak. Berdasarkan teori
Rotter’s tentang belajar sosial ini, maka dapat dianalisis bahwa anak
tunagrahita juga mempunyai harapan untuk sukses, namun dalam kenyataannya anak
tunagrahita jauh dari sukses, terus menerus mengalami kegagalan, sehingga sulit
untuk mendapatkan reinforcement. Sulit memperoleh reinforcement
ini menyebabkan anak tunagrahita mempunyai motivasi yang rendah.
Penelitian yang dilakukan oleh Welch
& Drew (1972) mengatakan pemberian rewards merupakan variabel yang perlu
diadakan untuk mengatasi perasaan gagal pada anak-anak tunagrahita. Untuk itu
guru, konselor vocational rehabilitation, orang tua harus memberikan
pengalaman sukses atau situasi sukses untuk anak-anak tunagrahita usia sekolah
ini. Pengalaman-pengalaman sukses ini akan memberikan motivasi untuk belajar
lebih banyak, dan menciptakan situasi kompetitif. Dengan demikian kegagalan
akan dihadapi sebagai pengalaman yang realistis.
C.
Tunagrahita Remaja
Perkembangan sosial remaja lebih
ditekankan pada sosialiasai, penampilan, rekreasi dan pengunaan waktu luang.
Latihan bersosialisasi perlu dilakukan agar remaja tunagrahita mempunyai
kemampuan untuk berinteraksi sosial dengan orang lainyang setelah menginjak
dewasa. Demikian juga anak harus diajarkan, berpakaian rapi dan bersih.
Penggunaan waktu luang pada remaja tunagrahita, juga perlu diperhatikan,
sehingga tunagrahita tidak jatuh pada orang-orang yang tidak bertangung jawab.
D.
Tunagrahita Dewasa
Pada anak tunagrahita dewasa,
perkembangan sosial lebih ditekankan pada kemampuan hidup ditengah-tengah
masyarakat banyak, dengan keterbatasannya. Pada tunagrahita dewasa diharapkan
anak sudah memiliki kemandirian di bidang sosial.
Anak tungarahita mempunyai
keteampilan adaptif yang rendah. Sperti yang dijelaskan oleh Kirk &
Gallaggher (1989) bahwa, anak tunagrahita mengalami deficit dalam
perilaku adaptif, hal ini menyebabkan anak tunagrahita mengalami masalah dalam
penyesuaian diri dan penyesuaian sosial. American Association on Mental
Retardation/AAMR (dalam Beirne-Smith, et.al., 2002) mengemukakan 10 area
keterampilan adaptif. 10 area tersebut adalah:
1. Komunikasi
2. Merawat diri
3. Hidup berumah
tangga ( home living)
4. Keterampilan
sosial
5. Menjalin
kerukunan (community use)
6. Mengarah atau
membimbing diri (self-derection)
7. Kesehatan dan
keselamatan
8. Memfungsikan
kemampuan akademik
9. Memanfaatkan
waktu luang
10.Bekerja.
Kesepuluh area keterampilan adaptif
tidak mudah di jangkau oleh anak tunagrahita, sehingga anak tunagrahita mempunyai
masalah dalam penyesuaian diri dan penyesuaian sosial. Kehadiran orang tua
dengan memberikan kepuasan emosi, latihan-latihan menolong diri sendiri yang
diberikan guru akan sangat membantu anak tunagrahita dalam menguasai
keterampilan adaptif dengan keterbatasanya.
Sehubungan dengan keterbatasan
kognitifnya maka kesulitan bagi lingkungan untuk mengenalkan norma-norma yang
ada di masyarakat. Willerman (1977) menjelaskan bahwa dalam menerima informasi
anak-anak normal lebih bersifat aktif, sedang pada anak tunagrahita cenderung
pasif, tergantung lingkungan yang memberikannya. Selanjutnya di katakan anak
mudah sekali kena bujukan atau mudah sekali tersugesti. Sehingga sangat
berbahaya apabila anak berteman dengan anak-anak yang menyimpang perilakunya.
Willerman (1979) mengatakan
pemberian kesempatan untuk berhubungan sosial pada anak tunagrahita banyak
membantu perkembangan sosialnya. Faktor lain menurutnya adalah kemandiriannya.
Latihan kemandirian juga akan banyak membantu anak untuk sukses dalam melakukan
adaptasi dengan lingkungannya. Perilaku stereotype menurut Baumeister
& Forehand (dalam reiss, et,al., 1977) “Stereotype as highly consistent and
repetitious motor or posturing behavior, the adaptive consequences of which, if
any, are not immediately apparent.”
Maksudnya stereotype merupakan
gerakan yang di ulang-ulang, dan sangat konsisten, gerakan itu dapat dari
perilaku postur tubuh, sebagai konsekuensi dari adaftasi. Hasil Penelitian yang
dilakukan oleh Berkson & Davenfort (dalam reiss, et.al., 1977) ditemukan
bahwa stereotype banyak di derita anak tunagrahita laki-laki. Dalam
penelitiannya ditemukan ada korelasi antara lamanya anak tunagrahita berada
pada suatu lembaga dengan perilaku stereotype dan ada korelasi yang negatif
antara IQ dan stereotype.
Mengenai stereotype ini ada beberapa
teori yang di kemukakan, yaitu stereotype terjadi sebagai bentuk untuk
mengurangi kecemasan dan ketegangan-ketegangan. Ada juga teori yang mengatakan
bahwa stereotype ini terjadi sebagai bentuk stimulasi diri, karena stimulasi
sensory terutama pada mata sangat terbatas. Karena itu biasanya stereotype ini
banyak terjadi pada anak tunanetra yang sering disebut dengan blindism.
1.
Perkembangan Emosi Tunagrahita
Perkembangan emosi sudah dapat
mencapai perkembangan yang optimal apabila anak sudah dapat mencapai
perkembangan emosi, maksudnya anak dapat mengelola emosinya dan dapat
mengekspresikan emosinya sesuai dengan aturan-aturan atau cita-cita masyarakat.
Kemandirian kemampuan untuk berinisiatif menurut Erikson’s banyak dipengaruhi
perkembangan emosi pada masa kanak-kanak. Ada 2 sikap yang tidak menguntungkan
untuk perkembangan emosi. Sikap tersebut adalah overprotection, otoriter, dan
memberikan kebebasan. Ketiga sikap tersebut sebenarnya sebagai manipestasi sikap
menolak, atau kekecewaan terhadap anaknya yang cacat.
Reiss, et.al., (1977) mengatakan
pada anak tunagrahita sering mengalami gangguan emosi dan masalah-masalah
perkembangan emosi sehubungan dengan kemampuan yang rendah. Perilaku emosi yang
dinampakkan seperti agresif. Baik verbal maupun performance, marah (kadang
meledak-ledak), withdrawl, takut, cemas, dingin, infulsif, lancang dan merusak.
Selanjutnya dikatakan oleh Reiss, bahwa hubungan antara subnormalita mental dan
gangguan emosi itu sangat kompleks, sebab maslah emosi ini juga disebabkan oleh
faktor-faktor yang lain.
Reiss, et.al., (1977), Prieda
Mangunsong, Dkk, (1998) mengatakan motivasi anak tunagrahita inferior, terutama
pada tugas-tugas yang memerlukan aspek interelegensi. Pada anbak anak tunagrahita
mempunyai ketahanan memperhatikan lebih pendek di bandingkan dengan anak
normal. Di laporkan anak tunagrahita, mempunyai harapan-harapan untuk dapat
menyelesaikan tugas yang diberikan kepadanya, tetapi sering kali mengalami
kegagalan, sehingga ia menjadi takut untuk mencoba. Pikiran yang ada padanya
selalu tidak bisa mengerjakannya, kegagalan, ada dorongan untuk minta bantuan.
Pikiran-pikiran akan kegagalan ini menjadikan self-fulfilling prophecy
yang akan mempimpin dan mengarahkan pada kegagalan-kegagalan selanjutnya dalam
waktu lama, sehingga menjadikan anak tunagrahita tidak pernah mau mencoba.
Sutjihati Somantri (2004) mengatakan
bahwa lingkungan yang positif, akan menjadikan berkembangnya emosi-emosi yang
positif pada anak tunagrahita. Emosi-emosi yang positif itu seperti cinta,
girang dan simpatik. Emosi-emosi ini terjadi pada lingkungan yang lebih
bersifat kongkrit, terutama pada anak tunagrahita yang masih muda.
Reiss, et.al.,(1977), Drew et.al.,
(1986) berpendapat bahwa anak tunagrahita sering di tolak oleh sekelompok
anak-anak yang normal, akibatnya anak jadi frustasi, marah dan memberontak atau
menentang. Perkembangan akademik anak tunagrahita mengalami hambatan, kemampuan
membaca, mendengar, menghitung dan kemampuan berpikir logis ada dibawah
anak-anak normal. Keterbatasan intelegensinya menyebabkan anak tunagrahita
sering tidak selesai mengerjakan tugas.
Perkembangan emosi anak tunagrahita
lebih lambat dibandingkan anak normal. Anak tunagrahita sering menunjukkan
perilaku influsif, adanya gangguan emosi seperti agresif dan withdrawl.
2.
Perkembangan Keperibadian
Ada 2 teori yang dapat digunakan untuk menerangkan
keperibadian anak tunagrahita. Teori-teori tersebut dapat dijelaskan sebagai
berikikut:
a.
Teori sifat
Beirne-Smith et.al,. (1986) menerangkan bahwa, pada teori
sifat ini keperibadian manusia dibagi menjadi 5 aspek, yaitu (1) keperibadian
yang neurotic (kecemasan dan perasaan tidak aman), (2) ekstraversion (kemampuan
sosial), (3) Agreeableness (ramah, kepercayaan dan kerjasama), (4) Opennsess
(ketebukaan, kemandirian, imajinasi dan bermacam-macam kemauan),
(5)Conscientiouness ( organisasi, kehati-hatian dan disiplin diri).
b.
Teori keperibadian Zigler’s
mZigler’s (dalam Beirne-smith, 2002) mengemukakan bahwa
struktur keperibadian atau pola perilaku anak tunagrahita pada umumnya sama.
Ada 5 ciri yang di identifikasi sebagai keperibadian anak tunagrahita yaitu (1)
harapan untuk sukses rendah, (2) takut gagal, (3) selalu ingin dipuji,
kebutuhan untuk selalu mendapatkan reinforcement, (4) cenderung mengikuti
perintah orang lain, (5) sangat tergantung orang lain.
B. TUNADAKSA
Perkembangan sosial, emosi dan keperibadian tunadaksa
1.
Perkembangan sosial anak tunadaksa
Secara langsung tidak ada hambatan
dalam perkembangan sosial pada anak tunadaksa golongan ini. Faktor utama
terjadinya hambatan sosial ini bersumber pada sikap keluarga, teman-temanya,
dan masyarakat. Ahmad Toha Muslim dan Sugiarmin (1996) menjelaskan sikap,
perhatian keluarga dan lingkungan terhadap anak tunadaksa dapat mendorong yang
bersangkutan untuk meningkatkan kemampuannya termasuk kemampuan bersosialisasi.
2.
Perkembangan emosi anak tunadaksa
Ketunaan yang ada pada anak
tunadaksa, secara khusus tidak akan menghambat dalam perkembangan emosi
anak tunadaksa. Hambatan ini dialami setelah anak mengadakan interaksi dengan
lingkungannya. Seringnya ditolak, seringnya mengalami kegagalan ditambah
lingkungan orang tua yang tidak menguntungkan, meyebababkan anak tunadaksa
sering nampak muram, sedih, dan jarang menampakkan rasa senang. Dalam
penelitian yang dilakukan Tin Suharmini (1995) dilaporkan penyandang tunadaksa
lebih sering menejukkan kesedihan, depresi, stress, jarang tersenyu, kecemasan,
withdrawl (penarikan diri), dan emosional. Pola-pola emosi yang ada pada anak
tunadaksa seperti sedih, marah, cemas, takut dan menarik diri.
3.
Perkembangan keperibadian anak tunadaksa
Pada anak usia dini anak tunadaksa mengalami gangguan dalam
fungsi mobilisasi, gangguan pada waktu merangkak, berguling, berdiri dan
berjalan. Kondisi ini apabila didukung dengan sikap yang negatif dari keluarga
maupun masyarakat sekitarnya, akan menjadikan pengalaman diusia dini yang
sangat menyakitkan dan dapat menjadikan pengalaman-pengalaman yang traumatis
pada anak. Keadaan fisik yang tidak sempurna, wajar apabila anak tunadaksa
merasa kecewa, marah dengan kondisinya. Apalagi ini didukung sikap masyarakat
yang tidak menyenangkan pada anak.
C. TUNALARAS
Perkembangan Sosial, Emosi dan Keperibadian Anak Tunalaras
1.
Karakteristik Tunalaras
Anak tunalaras adalah anak-anak yang
mengalami gangguan perilaku, yang ditunjukkan dalani aktivitas kehidupan
sehari-hari, baik di sekolah maupun dalam lingkungan sosialnya. Pada
hakekatnya, anak-anak tunalaras memiliki kemampuan intelektual yang normal,
atau tidak berada di bawah rata-rata. Kelainan lebih banyak terjadi pada
perilaku sosialnya
Karakteristik umum :
Mengalami gangguan perilaku, suka
berkelahi, memukul, menyerang, merusak milik sendiri atau orang lain, melawan,
sulit konsentrasi, tidak mau bekerjasama,sok aksi, ingin menguasai orang lain,
mengancam, berbohong, tidak bisa diam, tidak dapat dipercaya, suka mencuri,
mengejek dan sebagainnya
Mengalami kecemasan, khawatir,
cemas, ketakutan, merasa tertekan, tidak mau bergaul, menarik diri, kurang
percaya diri, bimbang, sering menangis, malu dan sebagainya.
Kurang dewasa, suka berfantasi,
berangan –angan, mudah dipengaruhi, kaku, pasif, seketika mengantuk, mudah bosan,
dan sebagainnya.
Agresif suka mencuri dengan
kelompoknya, loyal terhaadap teman jahatnya, sering bolos sekolah, sering
pulang larut malam, dan terbiasa minggat dari rumah.
2.
Perkembangan Sosial Anak Tunalaras
Anak tunalaras mempunyai penyusaian
yang salah, yang sering disebut dengan mal-adjustment yang baik dan mal
adjusment ditinjau dari psikologi. Dari batasan ini dapat dikatakan bahwa
penyusuaian adalah suatu proses mental dan reaksi dari perilaku individu untuk
menyusuaikan dengan baik terhadap kebutuhan-kebutuhan dari dalam, tekanan,
frustasi, dan konflik, sehingga menjadi satu kesatuan yang harmoni atau selaras
antara dunia batin dan dunia luar untuk mencapai tujuan dalam kehidupan ini.
Dengan demikian orang dikatakan
mempunyai penyusuaian yang baik apabila mempunyai ciri-ciri:
a.
Mempunyai kecakapan untuk belajar merealisi dirinya dan lingkungannya dengan
matang.
b.
Bahagia dan mempunyai kepuasan hidup.
c.
Melakukan penyesuaian yang efesien.
d.
Dapat mengatasi konflik, frustasi dan kesukaran sosial dan pribadi tanpa ada
gejala gangguan perilaku.
e.
Relatif bebas dari gejala kecemasan yang kronis, kekhawatiran, obsesi, phobia,
gangguan psikosomatik.
f.
Mempunyai kehidupan yang kreatif, hubungan antara manusia baik, menikmati
kehidupan dan terus menerus berusaha untuk mencapai perkembangan keperibadian
yang ideal yaitu menunaikan aktivalisasi diri.
Sebaliknya,
seseorang dikatakan mal-adjustment, apabila mempunyai ciri-ciri seabagai
berikut:
a.
Mereaksi lingkungan dan dirinya dengan kekanak-kanakan.
b.
Merasa tidak bahagia dan tidak dapat menikmati hidup.
c.
Tidak efisien dalam melakukan penyusaian.
d.
Kurang dapat mengatasi konflik, frustasi, kesukaran sosial dan pribadi.
e.
Interaksi sosial kurang baik.
f.
Cemburu dan suka berprasangka .
g.
Biasanya tidak disukai oleh teman-temannya.
3.
Perkembangan emosi anak tunalaras
Perkembangan
emosi anak tunalaras mengalami hambatan, atau gangguan, sehingga sering terjadi
gangguan emosi. Biasanya anak tunalaras berasal dari keluarga yang relatif
kurang menguntungkan bagi anak, baik secara biologis, psikologis dan sosial,
yang memungkinkan terjadinya kerentanan kejiwaan. Kerentanan kejiwaan ini
sering menimbulkan konflik dan tekanan-tekanan emosi.
Gangguan emosi adalah kondisi yang
dicirikan dengan respon emosi yang terlalu kuat atau terlalu lemah untuk ukuran
yang sebenarnya. Ada 2 golongan gangguan emosi pada anak tunalaras yaitu:
a.
Agresif
Perilaku agresif dapat digambarkan
sebagai perilaku menyerang, baik menyerang diri sendiri maupun orang lain.
Bandura (1973) memberikan batasan tentang perilaku agresif sebagai berikut:
“ Behavior that results in personal
injury and distruction of property”
Baron (1977) memberikan gambaran
tentang perilaku agresif sebagai berikut:
“ Any from of behavior directed to
ward the goal of harming or injuring another living being who is motivated to
avoid suich treatment”
Dari batasan ini dapat dikatakan
agresif digambarkan sebagai perilaku seseorang untuk menyerang seseorang atau
kehidupan lain, baik fisik maupun psikis dengan tujuan merusak. Ada dua
pertimbangan pokok yang menyebabkan suatu perilaku itu dikatakan agresif yaitu
menyerang dan merusak.
Ada dua bentuk perilaku agresif
yaitu agresif verbal dan agresif non verbal. Bentuk perilaku agresif verbal,
seperti menyerang dengan kata lain kata-kata verbal, dan memaki. Bentuk
perilaku agresif non verval adalah menyerang dengan perbuatan, seperti memukul,
menempeleng dan sejenisnya.
b. Withdrawl
Perilaku withdrawl adalah perilaku
menarik diri, tingkah laku menyendiri atau mengasingkan diri. Anak ini
mempunyai perasaan takut, khawatir untuk bergaul dengan orang atau anak lain.
Menarik diri dari pergaulan sosial merupakan salah satu ciri orang yang
mengalami kecemasan sosial seperti yang dikatakan Pekarik, et.al. (dalam Quay
& Werry, 1986) kecemasan sosial merupakan refleksi penarikan diri dari situasi
sosial. Senada dengan pendapat ini adalah Watson S. Friend (dalam Smith et.al
1983) mengemukakan bahwa dalam kecemasan sosial, kita perlu mengukur penarikan
diri dari lingkungan sosial.
Respon emosi anak tunalaras sebagai
akibat dari perlakuan orang lain ini terlalu kuat untuk ukuran yang sebenarnya.
Perilaku yang nampak keluar menyerang orang lain, memukul, memaki teman atau
guru atau merusak barang-barang yang ada di sekitarnya. Respon emosi yang
terlalu lemah menyebabkan anak menjadi takut, cemas dan menarik diri.
4.
Perkembangan keperibadian anak tunalaras
Ditinjau dari teori keperibadian
dari Freud (dalam Hall & Lindzey,1979), menyatakan ada 3 aspek keperibadian
yaitu id, ego dan super ego. Id merupakan aspek biologis, yang berisi nafsu,
dan keinginan-keinginan (seperti dorongan untuk makan, minum, sexual), dimana
dorongan-dorongan ini dibawa sejak lahir. Aspek ego, merupakan aspek
psikologis, yang lebih menekankan pada terpenuhinya kebutuhan secara realitas
(nyata). Ego ini yang bertugas memenuhi kebutuhan, atau keinginan-keinginan id
dengan memperhatikan super ego. Aspek super ego ini merupakan wakil dari
cita-cita masyarakat. Ketiga aspek ini mempunyai prinsip kerja sendiri-sendiri,
tetapi saling berkaitan dan tidak dapat dipisah-pisahkan. Manusia juga
membutuhkan dunia realitas, yaitu yang ada pada apek ego, sehingga energi
psikis dari id ke ego berjalan secara mekanis, melalui identifikasi.
Anak-anak tunalaras memiliki super
ego yang rendah, sehingga ego dalam memenuhi kebutuhan id sering tidak
diperhatikan norma-norma, atau cita-cita orang tua dan masyarakat. Akibatnya
perilaku ditampilkan keluar adalah perilaku yang diinginkan saja tanpa kontrol,
dengan demikian perilaku menyimpang, tidak selaras merupakan perilaku yang
sering mendominasi anak-anak tunalaras. Kondisi ini yang menyebabkan anak
tunalaras tidak dapat mencapai perkembangan keperibadian yang optimal. Anak
kesulitan menemukan diri, sering berperilaku tidak pantas, egois, dorongan
kerja sama sangat rendah.
Dari penelitian yang dilakukan
penulis, ternyata anak tunalaras banyak berasal dari keluarga yang tidak
menguntungkan. Anak kurang mendapatkan pola asuh yang benar. 70% anak-anak
tunalaras berasal dari keluarga yang broken home, dengan pola asuh yang
otoriter dan premissive. Mereka sering disuguhi perilaku-perilaku yang
cenderung agresif, atau sebaliknya. Mestinya orang tua tidak hanya memberikan
kasih sayang tetapi juga menanamkan kedisiplinan, bukan memanjakan, atau
memberikan kebebasan tanpa kendali, tetapi membimbing dengan memperhatikan
kebutuhan psikis anak.
DAFTAR PUSTAKA
Tin Suharmini.2007.Psikologi Anak Berkebutuhan Khusus.DEPARTEMEN
PENDIDIKAN NASIONAL.Jakarta.
Sutijati Somantri,2004.psikologi anak luar biasa.PT.Refika
Aditama,Bandung
0 komentar:
Posting Komentar