MAKALAH : PENDIDIKAN MULTIKULTURAL




MAKALAH INDIVIDU

PENDIDIKAN MULTIKULTURAL

UPACARA 7 BULANAN KEHAMILAN (TINGKEBAN) MASYARAKAT JAWA


DOSEN :
Drs. Sugiono , Msi



DISUSUN OLEH :
WAHYUNI (F37012028)
KELAS : 3B REGULER A

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
JURUSAN PENDIDIKAN DASAR
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2014




KATA PENGANTAR

            Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Upacara 7 bulanan kehamilan  (Tingkeban) Masyarakat Jawa. Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada dosen pengampu mata kuliah Pendidikan Multikultural yang telah memberikan bimbingan, arahan, serta saran dalam pembuatan makalah ini. Makalah ini diajukan guna memenuhi tugas individu pada mata kuliah Pendidikan Multikultural.

         Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu sehingga makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat memberikan informasi dan bermanfaat untuk pengembangan wawasan dan peningkatan ilmu pengetahuan bagi kita semua.









 Pontianak, Januari 2014





Penulis



DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ..............................................................................    2
DAFTAR ISI .............................................................................................    3
BAB I PENDAHULUAN .........................................................................   4
1.   Latar Belakang ……………………….............................................   4
2.   Rumusan Masalah ............................................................................   4

BAB II PEMBAHASAN ………………………………………………...   5
1.      Pengertian Tingkeban….............…………………………………    5
2.      Landasan Historis ………..………………………………………    6
3.      Tata Cara Pelaksanaan  Upacara Tingkeban ………..……………    7
4.      Lambang / Makna Yang Terkandung  Dalam Tingkeban ………… 11
BAB III PENUTUP …………………………………………………...…  12
1.      Kesimpulan ……………………………………………………....   12
2.      Saran ………………………………………………………….….   12

DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………...…….  13








BAB I
PENDAHULUAN
1.      LATAR BELAKANG
        Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari banyak pulau dan memiliki berbagai macam suku bangsa, bahasa, adat istiadat atau yang sering kita sebut kebudayaan. Keanekaragaman budaya yang terdapat di Indonesia merupakan suatu bukti bahwa Indonesia merupakan negara yang kaya akan budaya . Salah satunya yaitu adanya  upacara tingkeban (7 bulanan) di masyarakat jawa.
       Tingkeban sebagai salah satu dari keberagaman budaya Bangsa Indonesia, sudah tidak asing lagi. Menurut ilmu sosial dan budaya, tingkeban dan ritual-ritual lain yang sejenis adalah suatu bentuk inisiasi, yaitu sarana yang digunakan guna melewati suatu kecemasan. Dalam hal ini, kecemasan calon orang tua terhadap terkabulnya harapan mereka baik selama masa mengandung, ketika melahirkan, bahkan harapan akan anak yang terlahir nanti. Maka dari itu, dimulai dari nenek moyang terdahulu yang belum mengenal agama, menciptakan suatu ritual yang syarat akan makna tersebut, dan hingga saat ini masih diyakini oleh sebagian besar masyarakat Jawa. Tingkeban ini merupakan tradisi warisan leluhur yang masih dianggap sangat sakral.
2.      RUMUSAN MASALAH

1.      Apa yang dimaksud dengan tingkeban ?
2.      Apa landasan historis upacara tingkeban masyarakat jawa ?
3.      bagaimana tata cara pelaksanaan upacara tingkeban ?
4.      apasaja makna dan lambing dari unsure upacara tingkeban ?




BAB II
PEMBAHASAN

A.    PENGERTIAN TINGKEBAN
          Upacara Tingkeban adalah salah satu tradisi masyarakat Jawa, upacara ini disebut juga mitoni berasal dari kata pitu yang arti nya tujuh. Upacara ini dilaksanakan pada usia kehamilan tujuh bulan dan pada kehamilan pertama kali. Upacara ini bermakna bahwa pendidikan bukan saja setelah dewasa akan tetapi semenjak benih tertanam di dalam rahim ibu. Dalam upacara ini sang ibu yang sedang hamil di mandikan dengan air kembang setaman dan disertai doa yang bertujuan untuk memohon kepada Tuhan YME agar selalu diberikan rahmat dan berkah sehingga bayi yang akan dilahirkan selamat dan sehat.
         Dalam tradisi Jawa, Tingkeban atau disebut juga mitoni merupakan rangkaian upacara siklus hidup yang sampai saat ini masih dilakukan oleh sebagian masyarakat Jawa. Kata mitoni berasal dari kata ‘am’ (awalan am menunjukkan kata kerja) + ’7′ (pitu) yang berarti suatu kegiatan yang dilakukan pada hitungan ke-7. Upacara mitoni ini merupakan suatu adat kebiasaan atau suatu upacara yang dilakukan pada bulan ke-7 masa kehamilan pertama seorang perempuan dengan tujuan agar embrio dalam kandungan dan ibu yang mengandung senantiasa memperoleh keselamatan.
            Menurut tradisi Jawa, upacara dilaksanakan pada tanggal 7 , 17 dan 27 sebelum bulan purnama pada penanggalan Jawa, dilaksanakan di kiri atau kanan rumah menghadap kearah matahari terbit. Yang memandikan jumlahnya juga ganjil misalnya 5,7,atau 9 orang. Setelah disiram, dipakaikan kain /jarik sampai tujuh kali, yang terakhir/ ketujuh yang dianggap paling pantas dikenakan. Diikuti oleh acara pemotongan tumpeng tujuh yang diawali dengan doa kemudian makan rujak, dan seterusnya. Hakekat dasar dari semua tradisi Jawa adalah suatu ungkapan syukur dan permohonan kepada Yang Maha Kuasa untuk keselamatan dan kenteraman, namun diungkapkan dalam bentuk lambang-lambang yang masing-masing mempunyai makna.

B.     LANDASAN HISTORIS
Upacara Tingkeban atau Tradisi tujuh bulanan atau disebut juga mitoni yaitu upacara tradisional selamatan terhadap bayi yang masih dalam kandungan selama tujuh bulan. Tradisi ini berawal ketika pemerintahan Prabu Jayabaya. Pada waktu itu ada seorang wanita bernama Niken Satingkeb bersuami seorang pemuda bernama Sadiya. Keluarga ini telah melahirkan anak sembilan kali, namun satu pun tidak ada yang hidup. Karena itu, keduanya segera menghadap raja Kediri, yaitu Prabu Widayaka (Jayabaya). Oleh sang raja, keluarga tersebut disarankan agar menjalankan tiga hal, yaitu: Setiap hari rabu dan sabtu, pukul 17.00, diminta  mandi menggunakan tengkorak kelapa (bathok), sambil mengucap mantera: “Hong Hyang Hyanging amarta martini sinartan huma, hananingsun hiya hananing jatiwasesa. Wisesaning Hyang iya wisesaningsun. Ingsun pudya sampurna dadi manungsa.” Setelah mandi lalu berganti pakaian yang bersih, cara berpakaian dengan cara menggembol kelapa gading yang dihiasi Sanghyang Kamajaya dan Kamaratih atau Sanghyang Wisnu dan Dewi Sri, lalu di-brojol-kan ke bawah. Kelapa muda tersebut, diikat menggunakan daun tebu tulak (hitam dan putih) selembar. Setelah kelapa gading tadi di-brojol-kan, lalu diputuskan menggunakan sebilah keris oleh suaminya. Ketiga hal di atas, tampaknya yang menjadi dasar masyarakat Jawa menjalankan tradisi selamatan tingkeban sampai sekarang. Sejak saat itu, ternyata Niken Satingkeb dapat hamil dan anaknya hidup. Hal ini merupakan lukisan bahwa orang yang ingin mempunyai anak, perlu laku kesucian atau kebersihan. Niken Satingkeb sebagai wadah harus suci, tidak boleh ternoda, karenanya harus dibersihkan dengan mandi keramas.
Akhirnya sejak saat itu apabila ada orang hamil, apalagi hamil pertama dilakukan tingkeban atau mitoni. Tradisi ini merupakan langkah permohonan dalam bentuk selamatan. Batas tujuh bulan, sebenarnya merupakan simbol budi pekerti agar hubungan suami istri tidak lagi dilakukan agar anak yang akan lahir berjalan baik. Istilah methuk (menjemput) dalam tradisi jawa, dapat dilakukan sebelum bayi berumur tujuh bulan. Ini menunjukkan sikap hati-hati orang Jawa dalam menjalankan kewajiban luhur. Itulah sebabnya, bayi berumur tujuh bulan harus disertai laku prihatin. Pada saat ini, keadaan ibu hamil telah seperti ‘sapta kukila warsa’, artinya burung yang kehujanan. Burung tersebut tampak lelah dan kurang berdaya, tidak bisa terbang kemana-mana, karenanya yang paling mujarab adalah berdoa agar bayinya lahir selamat. Beberapa pantangan yang patut dicatat oleh ibu hamil maupun suaminya, juga mengarah pada budi pekerti Jawa luhur. Yakni, seorang ibu hamil dilarang makan buah yang melintang (misalnya buah kepel), dimaksudkan agar posisi bayi di perut tak melintang. Jika posisi melintang akan menyulitkan kelahiran kelak. Hal ini sebenarnya ada kaitannya dengan kesehatan, karena buah kepel sebenarnya panas jika dimakan, sehingga bila terlalu banyak akan berakibat pula pada keadaan bayi. Orang hamil, misalkan tidak boleh duduk di depan pintu dan di lumping tempat menumbuk padi, sebenarnya memuat nilai etika Jawa. Yakni, agar sikap dan watak ibu hamil tak dipandang tidak sopan, karena posisi duduk demikian juga akan memalukan dan tidak enak dipandang. Seorang suami yang dilarang menyembelih hewan, sebenarnya terkandung makna budi pekerti agar tidak menganiaya makhluk lain. penganiayaan juga merupakan tindakan yang tak baik. Di samping itu, lalu ada kata-kata ‘ora ilok’ kalau meyembelih hewan, ini dimaksudkan agar bayi yang akan lahir tak cacat. Watak dan perilaku yang dilarang ini merupakan aspek preventif agar suami lebih berhati-hati. Di samping itu, baik suami maupun ibu hamil diharapkan tidak mencacat atau membatin orang-orang yang cacat, agar bayinya tidak cacat, adalah langkah hati-hati. Perilaku ini merupakan upaya agar pasangan tersebut tidak semena-mena kepada orang lain yang cacat. Proses selamatan mitoni dilakukan di kebun kanan kiri rumah pada suatu krobongan. Krobongan adalah bilik yang terbuat dari kepang (anyaman bambu) dan pintunya menghadap ke timur, dihiasi dengan tumbuh-tumbuhan. Krobongan adalah lambang dunia, yaitu bahwa ibu hamil dan suami ketika melahirkan anak nanti harus menghadapi tantangan berat. Kelahiran anak nanti ibarat memasuki sebuah hutan (pasren). Adapun maksud pintu krobongan menghadap ke timur, dapat dikaitkan dengan asal kata timur dari bahasa Jawa wetan (wiwitan). Artinya, timur adalah permulaan hidup (sangkan paraning dumadi).
C.    TATA CARA PELAKSANAAN UPACARA TINGKEBAN

Secara teknis, penyelenggaraan upacara ini dilaksanakan oleh dukun atau anggota keluarga yang dianggap sebagai yang tertua. Kehadiran dukun ini lebih bersifat seremonial, dalam arti mempersiapkan dan melaksanakan upacara-upacara kehamilan. Serangkaian upacara yang diselenggarakan pada upacara ini adalah: 

1.      Siraman atau mandi merupakan simbol upacara sebagai pernyataan tanda pembersihan diri, baik fisik maupun jiwa. Pembersihan secara simbolis ini bertujuan membebaskan calon ibu dari dosa-dosa sehingga kalau kelak si calon ibu melahirkan anak tidak mempunyai beban moral sehingga proses kelahirannya menjadi lancar.   Siraman ini di lakukan oleh para sesepuh sebanyak 7 orang termasuk ayah dan ibu wanita hamil serta suami dari calon ibu. Siraman ini juga bermakna memohon doa restu agar proses persalinan lancar dan anak yang akan dilahirkan selamat dan sehat jasmani dan rohani. Sebaiknya yang memandikan adalah orang tua yang sudah mempunyai cucu.
2.      Setelah siraman selesai, dilanjutkan dengan upacara memasukan telur ayam. Calon ayah memasukan telur ayam mentah ke dalam sarung/kain yang di kenakan oleh calon ibu melalui perut sampai pecah .   Upacara ini dilaksanakan di tempat siraman (kamar mandi) sebagai simbol harapan agar bayi lahir dengan mudah tanpa aral melintang.
3.      Upacara brojolan atau memasukkan sepasang kelapa gading muda yang telah digambari Kamajaya dan Dewi Ratih atau Arjuna dan Sembadra ke dalam sarung dari atas perut calon ibu ke bawah.
Makna simbolis dari upacara ini adalah agar kelak bayi lahir dengan mudah tanpa kesulitan.  Upacara brojolan dilakukan di depan senthong tengah atau pasren oleh nenek calon bayi (ibu dari ibu si bayi) dan diterima oleh nenek besan. Kedua kelapa itu lalu ditidurkan di atas tempat tidur layaknya menidurkan bayi. 
Secara simbolis gambar Kamajaya dan Dewi Ratih atau Arjuna dan Sembadra melambangkan kalau si bayi lahir akan elok rupawan dan memiliki sifat-sifat luhur seperti tokoh yang digambarkan tersebut. Kamajaya dan Dewi Ratih atau Arjuna dan Sembadra merupakan tokoh ideal orang Jawa.
4.      Upacara Ganti Pakaian . Calon Ibu mengenakan kain putih sebagai dasar pakaian pertama, kain tersebut melambangkan bahwa bayi yang akan di lahirkan adalah suci dan mendapat berkah dari Tuhan YME. Calon Ibu berganti baju 6 kali dengan di iringi pertanyaan “ sudah pantas belum?”, dan di jawab oleh ibu ibu yang hadir “ belum pantas” sampai yang terakhir ke tujuh kali di jawab “ pantas”. Sebagai informasi, kain yang di pakai pada upacara berganti busana memiliki beberapa pilihan motif yang semua nya dapat dimaknai secara baik :
a.       Motif Wahyu Temurun: Maknanya agar bayi yang akan lahir menjadi orang yang selalu mendekatkan diri pada Allah SWT dan selalu mendapat perlindungan Nya.
b.      Motif Sido Asih:: Maknanya agar bayi yang akan lahir akan selalu mendapatkan cinta dan kasih oleh sesama dan memiliki sifat belas kasih.
c.       Motif Sido Mukti: Maknanya agar bayi yang akan lahir memiliki sifat berwibawa dan di segani oleh sekelilingnya
d.      Motif Truntum : Maknanya agar keluhuran budi kedua orang tua menurun pada sang bayi
e.       Motif Sido Luhur:: Maknanya agar bayi yang akan lahir akan memiliki sifat berbudi pekerti luhur dan sopan santun.
f.       Motif Semen Romo: Maknanya agar bayi yang dilahirkan memiliki rasa cinta kasih kepada sesama layaknya cinta kasih Rama dan Sinta kepada rakyatnya.
g.      Motif Sido Dadi: Maknanya agar bayi yang di lahirkan kelak akan selalu sukses dalam hidupnya.
h.      Motif Babon Anggrem: Maknanya berisi harapan agar calon ibu dapat melahirkan secara normal dan lancar.
i.        Motif Sido Derajat : Maknanya agar bayi yang dilahirkan mendapat derajat yang baik dalam hidupnya.

5.      Kain sidamukti yang dikenakan pada wanita hamil tadi diikat dengan tebu tulak (hitam putih) atau diganti dengan benang putih dan atau janur kuning. Tebu tulak, benang putih dan atau janur kuning tersebut harus diputus oleh suami menggunakan sebilah keris. Tebu tulak merupakan lambang tolak bala, agar anak yang lahir jauh dari halangan. Benang putih (lawe) merupakan simbol simpul kelahiran telah terbuka, yaitu plasenta (puser) si bayi. Rintangan-rintangan kelahiran yang dianggap berbahaya, telah dipatahkan oleh suami, sehingga bayi akan lahir dengan mudah. Sedangkan janur kuning yang diikatkan pada perut wanita sebagai pertanda bahwa suami istri tersebut telah mendapatkan cahaya (janur) kemenangan, yaitu akan mendapatkan amanat berupa anak. Cahaya tersebut harus diraih dengan rintangan atau kesulitan, sehingga suami harus mengatasinya dengan cara memotong janur. Pemotongan janur berarti upaya mengatasi kesulitan. 
6.   Upacara Angrem  . Setelah upacara ganti busana Calon ibu duduk di atas tumpukan baju dan kain yang tadi habis di gunakan. Hal ini memiliki symbol bahwa calon ibu akan selalu menjaga kehamilan dan anak yang di kandungnya dengan hati hati dan penuh kasih sayang. Calon Ayah menyuapi calon Ibu dengan nasi tumpeng dan bubur merah putih sebagai symbol kasih sayang seorang suami dan calon ayah.
7.      Upacara memecahkan periuk dan gayung yang terbuat dari tempurung kelapa (siwur). Maksudnya adalah memberi sawab (doa dan puji keselamatan) agar nanti kalau si ibu masih mengandung lagi, kelahirannya juga tetap mudah
8.      Upacara Mecah Kelapa . Kelapa gading yang tadi di bawa ke kamar, kembali di gendong oleh calon nenek untuk di bawa keluar dan di letak kan dalam posisi terbalik untuk di pecah, Kelapa gading nya berjumlah 2 dan masing masing di gambari tokoh Wayang Kamajaya dan Kamaratih. Calon ayah memilih salah satu dari kedua kelapa tersebut.  Apabila calon ayah memilih Kamajaya maka bayi akan lahir Laki laki, sedangkan jika memilih Kamaratih akan lahir perempuan ( hal ini hanya pengharapan saja, belum merupakan suatu kesungguhan)
9.      Dodol Rujak . Pada upacara ini, calon ibu membuat rujak di dampingi oleh calon ayah, para tamu yang hadir membeli nya dengan menggunakan kereweng sebagai mata uang. Makna dari upacara ini agar kelak anak yang di lahirkan mendapat banyak rejeki dan dapat menghidupi keluarga nya.
10.  Upacara minum jamu sorongan, melambangkan agar anak yang dikandung itu akan mudah dilahirkan seperti didorong (disurung).
11.  Upacara nyolong endhog, melambangkan agar kelahiran anak cepat dan lancar secepat pencuri yang lari membawa curiannya. Upacara ini dilaksanakan oleh calon ayah dengan mengambil telur dan membawanya lari dengan cepat mengelilingi kampung.
12.  Kenduri sebagai syukuran.
Pada saat ini, ada beberapa ubarampe (sesaji) yang perlu dipersiapkan, yaitu:
a.       Tumpeng kuat, yaitu tumpeng berjumlah tujuh. Satu di antara tumpeng itu dibuat paling besar dan enam yang lain, diletakkan mengelilingi tumpeng besar. Bilangan tujuh menggambarkan umur bayi tujuh bulan. Sedangkan makna tumpeng kuat, sebagai lambang agar bayi yang lahir sehat wal afiat dan orangtuanya diberi kekuatan lahir dan batin.
b.      Keleman, yaitu sajian umbi-umbian sebanyak tujuh macam: ubi jalar, ketela, gembili, kentang, wortel, ganyong, dan garut. Hal ini bermakna agar bayi yang lahir kelak mendapatkan rezeki yang banyak dan mau hidup sederhana.
c.       Rujakan dan dhawet ayu, yang terdiri dari jeruk, mentimun, belimbing, pisang, dan lain-lain, merupakan gambaran kesenanganSega megana, yaitu nasi yang diletakkan dalam periok, di dalamnya terdapat lauk dan sayuran. Ini merupakan simbol bahwa bayi dalam kandungan tujuh bulan telah berbentuk (gumana) sebagai manusia yang siap lahir. Bayi tersebut secara fisik dan nonfisik diharapkan telah lengkap.
d.      Ketan procot, yaitu ketan yang diaduk dengan santan dan setelah dimasukkan dalam daun pisang memang dihidangkan. Yang perlu diketahui, daun pisang tersebut harus berlubang kanan kirinya, tidak boleh ditusuk dengan biting. Hal ini merupakan lambang agar kelak bayi lahir dengan mudah.
Dengan dilaksanakannya seluruh upacara tersebut di atas, upacara tingkeban dianggap selesai ditandai dengan doa. Selamatan atau sesajian sebagian dibawa pulang oleh yang menghadiri atau meramaikan upacara tersebut.
D.    LAMBANG ATAU MAKNA YANG TERKANDUNG DALAM UNSUR UPACARA TINGKEBAN
Upacara Tingkeban/Mitoni/7bulanan memiliki simbol-simbol atau makna atau lambang yang dapat ditafsirkan sebagai berikut:
1.      Sajen tumpeng, maknanya adalah pemujaan (memule) pada arwah leluhur yang sudah tiada. Para leluhur setelah tiada bertempat tinggal di tempat yang tinggi, di gunung-gunung.
2.      Sajen jenang abang, jenang putih, melambangkan benih pria dan wanita yang bersatu dalam wujud bayi yang akan lahir.
3.      Sajen berupa sega gudangan, mengandung makna agar calon bayi selalu dalam keadaan segar.
4.      Cengkir gading (kelapa muda yang berwarna kuning), yang diberi gambar Kamajaya dan Dewi Ratih, mempunyai makna agar kelak kalau bayi lahir lelaki akan tampan dan mempunyai sifat luhur Kamajaya. Kalau bayi lahir perempuan akan secantik dan mempunyai sifat-sifat seluhur Dewi Ratih.
5.      Benang lawe atau daun kelapa muda yang disebut janur yang dipotong, maknanya adalah mematahkan segala bencana yang menghadang kelahiran bayi.
6.      Kain dalam tujuh motif melambangkan kebaikan yang diharapkan bagi ibu yang mengandung tujuh bulan dan bagi si anak kelak kalau sudah lahir.
7.      Sajen dhawet mempunyai makna agar kelak bayiyang sedang dikandung mudah kelahirannya.
8.      Sajen berupa telur yang nantinya dipecah mengandung makna berupa ramalan, bahwa kalau telur pecah maka bayi yang lahir perempuan, bila telur tidak pecah maka bayi yang lahir nantinya adalah laki-laki.




BAB III
PENUTUP
1.      KESIMPULAN  

Budaya jawa yang berada di daerah Pulau Jawa di wilayah Indonesia merupakan budaya yang memiliki berbagai kebudayaan, mulai dari adat istiadat sehari-hari.
Acara tujuh bulanan / tingkeban di ulas hal ini merupakan warisan kebudayaan masa silam yang tak ternilai harganya.
Manusia dan kebudayaan merupakan suatu kesatuan yang erat sekali.Kedua-duanya tidak mungkin dipisahkan. Ada manusia ada kebudayaan, tidak akan ada kebudayaan jika tidak ada pendukungnya, yaitu manusia. Akan tetapi manusia itu hidupnya tidak berapa lama, ia lalu mati. Maka untuk melangsungkan kebudayaan, pendukungnya harus lebih dari satu orang, bahkan harus lebih dari satu turunan.Jadi harus diteruskan kepada anak cucu keturunan selanjutnya.

2.      SARAN

Budaya daerah merupakan faktor utama berdirinya kebudayaan nasional, maka segala sesuatu yang terjadi pada budaya daerah akan sangat mempengaruhi budaya nasional.  Atas dasar itulah, kita semua mempunyai kewajiban untuk menjaga, memelihara dan melestarikan budaya baik budaya lokal atau budaya daerah maupun budaya nasional, karena budaya merupakan bagian dari kepribadian bangsa.maka jagalah dengan baik serta melestarikannya dengan sungguh-sungguh agar tidak dimiliki atau pindah tangan budaya tersebut kepada suku,bangsa atau negara lain.jadi hak petenkanlah budaya ini sesungguhnya hal ini pun akan menjadi hukum kebiasaan bila dimasukan ke undang-undang atau peraturan daerah pun ini akan menjadi hukum yang patut kita acungi jempol bersifat baik walaw memaksa dan mengikat justru itu yang saya inginkan agar negara indonesiapun menjadi kokoh serta terjaga lingkungannya akan budaya adat istiadatnya.



DAFTAR PUSTAKA




Gunasasmita. Kitab Pribmon Jawa Serbaguna. Yogyakarta: Soemodidjaja  
    Mahadewa, 2009
Tjakraningrat, K.P. Harya Atassadhur Adimmakna. Yogyakarta: Soemodidjaja
    Mahadewa, 1880.
Bektijamal Adimmakna. Yogyakarta: Soemodidjaja Mahadewa, 1880.
http://www.jelajahbudaya.com/ (Rabu 1 januari 2014)
http://wartawarga.gunadarma.ac.id/ (Rabu 1 januari 2014)

0 komentar:

Posting Komentar


up