7 PILAR PENDIDIKAN UNESCO
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Pendidikan
pada dasarnya adalah proses komunikasi yang didalamnya mengandung transformasi
pengetahuan, nilai-nilai dan keterampilan-keterampilan, di dalam dan di luar
sekolah yang berlangsung sepanjang hayat, dari generasi ke generasi (Dwi
Siswoyo, 2008: 25). Dari pengertian di atas dapat diartikan bahwa hampir dari
seluruh kegiatan manusia yang bersifat positif dapat dianggap bahwa mereka
telah melakukan proses pendidikan. Tujuan pendidikan secara luas antara lain
adalah untuk meningkatkan kecerdasan, membentuk manusia yang berkualitas,
terampil, mandiri, inovatif, dan dapat meningkatkan keimanan dan ketakwaan.
Oleh karena itu, pendidikan sangat diperlukan oleh manusia untuk dapat
melangsungkan kehidupan sebagai makhluk individu, sosial dan beragama.
Dalam
upaya memajukan pendidikan di Indonesia UNESCO mengeluarkan empat pilar yang
dapat menopang pendidikan yang ada di Indonesia ini. Keempat pilar tersebut
adalah learning to know, learning to do, learning to be, dan learning to live
together. Dimana Untuk mengimplementasikan “learning to know” (belajar untuk
mengetahui), Guru harus mampu menempatkan dirinya sebagai fasilitator. Di
samping itu guru dituntut untuk dapat berperan ganda sebagai kawan berdialog
bagi siswanya dalam rangka mengembangkan penguasaan pengetahuan siswa.
Sekolah
sebagai wadah masyarakat belajar seyogjanya memfasilitasi siswanya untuk
mengaktualisasikan keterampilan yang dimiliki, serta bakat dan minatnya agar
“Learning to do” (belajar untuk melakukan sesuatu) dapat terealisasi. Walau sesungguhnya
bakat dan minat anak dipengaruhi faktor keturunan namun tumbuh dan
berkembangnya bakat dan minat juga bergantung pada lingkungan. Seperti kita
ketahui bersama bahwa keterampilan merupakan sarana untuk menopang kehidupan
seseorang bahkan keterampilan lebih dominan daripada penguasaan pengetahuan
semata.
Pilar ketiga
yang dicanangkan Unesco adalah “learning to be” (belajar untuk menjadi
seseorang). Hal ini erat sekali kaitannya dengan bakat, minat, perkembangan
fisik, kejiwaan, tipologi pribadi anak serta kondisi lingkungannya. Misal :
bagi siswa yang agresif, akan menemukan jati dirinya bila diberi kesempatan
cukup luas untuk berkreasi. Dan sebaliknya bagi siswa yang pasif, peran guru
sebagai kompas penunjuk arah sekaligus menjadi fasilitator sangat diperlukan
untuk menumbuhkembangkan potensi diri siswa secara utuh dan maksimal.
Terjadinya
proses “learning to live together” (belajar untuk menjalani kehidupan bersama),
pada pilar keempat ini, kebiasaan hidup bersama, saling menghargai, terbuka,
memberi dan menerima perlu dikembangkan disekolah.
Proses belajar-mengajar merupakan suatu
proses yang mengandung serangkaian perbuatan guru dan siswa atas dasar hubungan
timbal balik yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan
tertentu (Usman, 2000:4). Sedangkan menurut Suryosubroto, proses
belajar-mengajar meliputi kegiatan yang dilakukan guru mulai dari perencanaan,
pelaksanaan kegiatan sampai evaluasi dan program tindak lanjut yang berlangsung
dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan tertentu yaitu pengajaran
(Suryosubroto 1997:19).
Mengacu dari kedua pendapat tersebut, maka
proses belajar-mengajar yang aktif ditandai adanya serangkaian kegiatan
terencana yang melibatkan siswa secara komprehensif, baik fisik, mental,
intelektual dan emosionalnya.
Dalam konteks pemahaman tentang proses
belajar-mengajar, guru dihadapkan pada sesuatu yang secara conditio
sine qua non harus diaktualisasikan dalam bentuk pembelajaran aktif,
kreatif, dan menyenangkan. Fenomena yang berkembang di lapangan menunjukkan
bahwa sebagian besar guru terbiasa mendesain pembelajaran yang “memenangkan”
guru. Artinya, guru lebih senang dianggap sebagai satu-satunya sumber belajar
bagi siswa (teacher centered).
Pembelajaran didasarkan target kurikulum,
juga merupakan refleksi dari saratnya beban dan materi pelajaran sehingga guru
cenderung mengejar penyelesaian materi daripada mengoptimalkan substansi dari
kristalisasi nilai-nilai yang seyogyanya diaktualisasikan. Artinya, guru kurang
peduli dengan pentingnya kecakapan hidup (life skill) yang harus
dikuasai siswa, dan lebih mementingkan pencapaian hasil belajarnya.
Kondisi tersebut sudah tentu rentan akan berbagai dampak negatif
yang muaranya pada kualitas pendidikan di mana berada pada ambang batas
“kekawatiran”. Problematika yang kompleks dalam dunia pendidikan merupakan
tantangan guru, yang harus diupayakan alternatif pemecahannya. Hal ini karena stakeholder dalam
dunia pendidikan adalah orang tua, guru, masyarakat, institusi, dan para
praktisi pendidikan yang diharapkan sumbang sarannya.
Realitas di lapangan menunjukkan bahwa
sebagai upaya pencapaian target kurikulum guru cenderung “memaksa” siswa
menerima. Pengajaran tanpa mempertimbangkan apakah siswa mampu menguasai serta
mengerti dengan apa yang ia pelajari. Kondisi dapat dilihat dari berbagai
aktivitas guru, di antaranya: (1) guru memberi les/pelajaran tambahan secara
berlebihan dan cenderung menerapkan metode drill, (2) guru hanya menjadi
“tukang LKS”, (3) guru memberi pelajaran tidak sistematis, (4) guru memberikan
PR dalam jumlah yang tidak sesuai dengan kemampuan siswa, dan (5) pengajaran
tanpa media.
Ada beragam teknik yang dapat digunakan guru
untuk menciptakan suasana kelas yang kondusif, kreatif, konstruktif, ceria, dan
menyenangkan serta memberi ruang gerak anak untuk berkreasi, sesuai daya
imajinasi masing-masing. Apabila kondisi tersebut dapat didesain guru sudah
tentu akan berdampak pada meningkatnya kualitas pembelajaran.
Pembelajaran yang berkualitas pada akhirnya
bermuara pada penciptaan suasana pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif, dan
menyenangkan. Paradigma tersebut kemudian dikenal dengan istilah PAKEM dan
mendapatkan rekomendasi dari UNESCO sebagai satu bentuk pembelajaran efektif,
dengan mengacu pada empat pilar pendidikan, yakni belajar mengetahui (learning
to know), belajar bekerja (learning to do), belajar hidup bersama (learning
to live together), dan belajar menjadi diri sendiri (learning to be).
BAB II
KAJIAN
PUSTAKA
A.
Pembelajaran
Sebagai Pilar Utama Pendidikan
Sudjana
(2004:28) “Pembelajaran dapat diartikan sebagai setiap upaya yang sistematik
dan sengaja untuk menciptakan agar terjadi kegiatan interaksi edukatif antara
dua pihak, yaitu antara peserta didik (warga belajar) dan pendidik (sumber
belajar) yang melakukan kegiatan membelajarkan”. Pembelajaran adalah setiap
perubahan perilaku yang relatif permanen, terjadi sebagai hasil dari
pengalaman. Kita telah melihat individu mengalami
pembelajaran, melihat individu berperilaku dalam cara tertentu sebagai hasil
dari pembelajaran, dan kita semua telah belajar dalam suatu tahap dalam hidup
kita. Dengan perkataan lain,
dapat disimpulkan bahwa pembelajaran telah terjadi ketika seorang individu
berperilaku, bereaksi, dan merespons sebagai hasil dari pengalaman dengan satu
cara yang berbeda dari caranya berperilaku sebelumnya. Hal-hal inilah yang akan
mendidik seseorang untuk menjadi orang yang terdidik.
B. Pilar-Pilar Pendidikan
Komisi
Pendidikan untuk Abad XX1 (Unesco 1996: 85) melihat bahwa
hakikat pendidikan sesungguhnya adalah belajar (learning).
Selanjutnya dikemukakan bahwa pendidikan bertumpu pada 4 pilar, yaitu (1)
learning to know, (2) learning to do, (3) learning to live together, learning
to live with other, dan (4) learning to be.
1.
Learning
to Know ( Belajar untuk Menguasai)
Tidak hanya memperoleh pengetahuan
tapi juga menguasai teknik memperoleh pengetahuan tersebut. Pilar ini
berpotensi besar untuk mencetak generasi muda yang memiliki kemampuan
intelektual dan akademik yang tinggi.
Secara implisit, learning to
know bermakna belajar sepanjang hayat (Life long education).
Asas belajar sepanjang hayat bertitik tolak atas keyakinan bahwa proses
pendidikan dapat berlangsung selama manusia hidup, baik didalam maupun diluar
sekolah. Sehubungan dengan asas pendidikan seumur hidup berlangsung seumur
hidup, maka peranan subjek manusia untuk mendidik dan mengembangkan diri
sendiri secara wajar merupakan kewajiban kodrati manusia.
Dengan kebijakan tanpa batas umur
dan batas waktu untuk belajar, maka kita mendorong supaya tiap pribadi sebagai
subjek yang bertanggung jawab atas pendidikan diri sendiri menyadari, bahwa:
a.
Proses dan waktu pendidikan berlangsung
seumur hidup sejak dalam kandungan hingga manusia meninggal.
b.
Bahwa untuk belajar, tiada batas
waktu. Artinya tidak ada kata terlambat atau terlalu dini untuk belajar.
c.
Belajar/ mendidik diri
sendiri adalah proses alamiah sebagai bagian integral/totalitas
kehidupan (Burhannudin Salam, 1997:207).
Menurut
Isjoni (2008:47), guru adalah orang yang identik dengan pihak yang memiliki
tugas dan tanggung jawab membentuk karakter generasi bangsa. Di tangan
gurulah tunas-tunas bangsa ini terbentuk sikap dan moralitasnya, sehingga mampu
memberikan yang terbaik untuk anak negeri ini di masa yang akan datang.
Guru memiliki peranan yang sangat
penting dalam menentukan kuantitas dan kualitas pengajaran yang
dilaksanakannya. Oleh sebab itu, guru harus memikirkan dan membuat perencanaan
secara saksama dalam meningkatkan kemampuan belajar bagi siswanya, dan
memperbaiki kualitas mengajarnya. Hal ini menuntut perubahan-perubahan dalam
pengorganisasian kelas, penggunaan metode mengajar, strategi belajar-mengajar,
maupun sikap dan karakteristik guru dalam mengelola proses
belajar-mengajar.
Guru bisa dikatakan unggul dan
profesional bila mampu mengembangkan kompetensi individunya dan tidak banyak
bergantung pada orang lain.
Konsep learning
to know ini menyiratkan makna bahwa pendidik harus mampu berperan
sebagai berikut:
1) Guru
berperan sebagai sumber belajar
Peran
ini berkaitan penting dengan penguasaan materi pembelajaran. Dikatakan guru yang baik apabila ia dapat menguasai
materi pembelajaran dengan baik, sehingga benar-benar
berperan sebagi sumber belajar bagi anak didiknya.
2) Guru sebagai
Fasilitator
Guru
berperan memberikan pelayanan memudahkan siswa dalam kegiatan proses
pembelajaran.
3) Guru sebagai
pengelola
Guru
berperan menciptakan iklim belajar yang memungkinkan siswa dapat belajar secara nyaman.
Prinsip-prinsip
belajar yang harus diperhatikan guru dalam pengelolaan pembelajaran, yaitu:
a) Sesuatu yang
dipelajari siswa, maka siswa harus mempelajarinya sendiri.
b) Setiap siswa yang
belajar memiliki kecepatan masing-masing.
c) Siswa akan
belajar lebih banyak, apabila setiap selesai melaksanakan tahapan kegiatan diberikan reinforcement.
d) Penguasaan
secara penuh.
e) Siswa yang
diberi tanggung jawab, maka ia akan lebih termotivasi untuk belajar.
d. Guru sebagai
demonstrator
Guru
berperan untuk menunjukkan kepada siswa segala sesuatu yang dapat membuat siswa lebih mengerti dan memahami setiap pesan
yang disampaikan.
e. Guru
sebagai pembimbing
Siswa
adalah individu yang unik. Keunikan itu bisa dilihat dari adanya setiap
perbedaan. Perbedaan inilah yang menuntut guru harus berperan sebagai
pembimbing.
a.
f. Guru
sebagai mediator
Guru selain dituntut untuk memiliki
pengetahuan tentang media pendidikan juga harus memiliki keterampilan memilih dan menggunakan
media dengan baik.
g. Guru sebagai Evaluator
Yakni
sebagai penilai hasil pembelajaran siswa. Dengan penilaian tersebut, guru
dapat mengetahui keberhasilan
pencapaian tujuan, penguasaan siswa terhadap pelajaran, serta ketepatan/
keefektifan metode mengajar(Fakhruddin, 2010:49-61).
2.
Learning
to do (
Belajar untuk Menerapkan )
Pendidikan membekali manusia tidak
sekedar untuk mengetahui, tetapi lebih jauh untuk terampil berbuat/ mengerjakan
sesuatu sehingga menghasilkan sesuatu yang bermakna bagi
kehidupan. Sasaran dari pilar kedua ini adalah kemampuan kerja generasi
muda untuk mendukung dan memasuki ekonomi industry (Soedijarto,
2010). Dalam masyarakat industri tuntutan tidak lagi cukup dengan
penguasaan keterampilan motorik yang kaku melainkan kemampuan untuk
melaksanakan pekerjaan-pekerjaan seperti “controlling, monitoring,
designing, organizing”. Peserta didik diajarkan untuk melakukan
sesuatu dalam situasi konkrit yang tidak hanya terbatas pada penguasaan keterampilan
yang mekanitis melainkan juga terampil dalam berkomunikasi, bekerjasama dengan
orang lain, mengelola dan mengatasi suatu konflik. Melalui pilar kedua
ini, dimungkinkan mampu mencetak generasi muda yang intelligent dalam bekerja
dan mempunyai kemampuan untuk berinovasi.
Sekolah sebagai wadah masyarakat
belajar hendaknya memfasilitasi siswanya untuk mengaktualisasikan ketrampilan
yang dimiliki, serta bakat dan minatnya agar “Learning to do” dapat
terealisasi. Secara umum, bakat adalah kemampuan potensial yang dimiliki
seseorang untuk mencapai keberhasilan pada masa yang akan datang. Sedangkan
minat adalah kecendrungan dan kegairahan yang tinggi atau keinginan yang besar
terhadap sesuatu.
Meskipun bakat dan minat anak
dipengaruhi factor keturunan namun tumbuh dan berkembangnya bakat dan minat
juga bergantung pada lingkungan . Lingkungan disini dibagi menjadi dua yaitu:
a.
Lingkungan social
Yang termasuk dalam lingkungan
social siswa adalah masyarakat dan tetangga juga teman-teman sepermainan di
sekitar perkampungan siswa tersebut.Lingkungan social yang lebih banyak
mempengaruhi kegiatan belajar ialah orangtua dan keluarga siswa itu sendiri.
b.
Lingkungan nonsosial
Factor-faktor yang termasuk
lingkungan nonsosial ialah gedung sekolah dan letaknya, rumah tempat tinggal
keluarga siswa dan letaknya, alat-alat belajar, dan keadaan cuaca. Faktor-faktor
ini dipandang turut menentukan tingkat keberhasilan belajar
siswa (Muhibbin Syah, 2004:138).
Sekolah juga berperan penting dalam
menyadarkan peserta didik bahwa berbuat sesuatu begitu penting. Oleh
karena itulah peserta didik mesti terlibat aktif dalam menyelesaikan
tugas-tugas sekolah. Tujuannya adalah agar peserta didik terbiasa
bertanggung jawab, sehingga pada akhirnya, peserta didik terlatih untuk
memecahkan masalah.
3.
Learning
to live together (belajar
untuk dapat hidup bersama)
Belajar memahami dan menghargai orang lain, sejarah mereka dan
nilai-nilai agamanya. Learning to live together, pada dasarnya
adalah mengajarkan, melatih dan membimbing peserta didik agar mereka dapat
menciptakan hubungan melalui komunikasi yang baik, menjauhi prasangka-prasangka
buruk terhadap orang lain serta menjauhi dan menghindari terjadinya
perselisihan dan konflik. Persaingan dalam misi ini harus dipandang sebagai
upaya-upaya yang sehat untuk mencapai keberhasilan, bukan sebaliknya bahwa
persaingan justru mengalahkan nilai-nilai kebersamaan bahkan pengehancuran
terhadap orang lain atau pihak lain untuk kepentingan sendiri. Dengan demikian
diharapkan kedamaian dan keharmonisan hidup benar-benar dapat diwujudkan.
Dalam proses pembelajaran, pengembangan kemampuan berkomunikasi yang baik dengan guru dan sesama siswa yang dilandasi sikap saling menghargai harus perlu secara terus menerus dikembangakan di dalam setiap even pembelajaran. Kebiasaan-kebiasaan untuk bersedia seringkali kurang mendapat perhatian oleh guru, karena dianggap sebagai hal rutin yang berlangsung saja pada kegiatan sehari-hari. Padahal kemampuan ini tidak dapat berkembang dengan baik begitu saja, akan tetapi membutuhkan latihan-latihan yang terbimbing dari guru. Kebiasaan-kebiasaan saling menghargai yang dipraktikkan di ruang-ruang kelas dan dilakukan secara terus-menerus akan menjadi bekal bagi siswa untuk dapat dikembangakan secara nyata dalam kehidupan bermasyarakat
Dalam proses pembelajaran, pengembangan kemampuan berkomunikasi yang baik dengan guru dan sesama siswa yang dilandasi sikap saling menghargai harus perlu secara terus menerus dikembangakan di dalam setiap even pembelajaran. Kebiasaan-kebiasaan untuk bersedia seringkali kurang mendapat perhatian oleh guru, karena dianggap sebagai hal rutin yang berlangsung saja pada kegiatan sehari-hari. Padahal kemampuan ini tidak dapat berkembang dengan baik begitu saja, akan tetapi membutuhkan latihan-latihan yang terbimbing dari guru. Kebiasaan-kebiasaan saling menghargai yang dipraktikkan di ruang-ruang kelas dan dilakukan secara terus-menerus akan menjadi bekal bagi siswa untuk dapat dikembangakan secara nyata dalam kehidupan bermasyarakat
4.
Learning to be (
Belajar untuk Menjadi)
Tiga
pilar pertama ditujukan bagi lahirnya generasi muda yang mampu mencari
informasi dan/ menemukan ilmu pengetahuan, yang mampu melaksanakan tugas dalam
memecahkan masalah, dan mampu bekerjasama, bertenggang rasa, dan toleran
terhadap perbedaan. Bila ketiganya berhasil dengan memuaskan akan menimbulkan
adanya rasa percaya diri pada masing-masing peserta didik.
Konsep learning
to be perlu dihayati oleh praktisi pendidikan untuk melatih siswa agar
memiliki rasa percaya diri yang tinggi. Kepercayaan merupakan modal utama
bagi siswa untuk hidup dalam masyarakat. Penguasaan pengetahuan dan
keterampilan merupakan bagian dari proses menjadi diri sendiri (learning
to be)(Atika, 2010). Menjadi diri sendiri diartikan sebagai proses
pemahaman terhadap kebutuhan dan jati diri. Belajar berperilaku sesuai dengan
norma dan kaidah yang berlaku di masyarakat, belajar menjadi orang yang
berhasil, sesungguhnya merupakan proses pencapaian aktualisasi diri.
Faktor-faktor
yang mempengaruhi proses pendidikan menurut Djamal
(2007:101) yaitu:
a.
Motivasi
Yaitu
kondisi fisiologi dan psikologis yang terdapat dalam diri seseorang yang
mendorong untuk melakukan aktivitas tertentu guna mencapai suatu
tujuan/kebutuhan
b.
Sikap
Sikap
yaitu suatu kesiapan mental atau emosional dalam berbagai jenis tindakan pada
situasi yang tepat.
c.
Minat
d.
Kebiasaan belajar
Berbagai
hasil penelitian menunjukkan, bahwa hasil belajar mempunyai kolerasi positif
dengan kebiasaan atau study habit. Kebiasan merupakan cara
bertindak yang diperoleh melalui belajar secara berulang-ulang, yang pada
akhirnya menjadi menetap dan bersifat otomatis.
e.
Konsep diri
Konsep
diri adalah pandangan seseorang tentang dirinya sendiri yang menyangkut
perasaannya, serta bagaimana perilakunya tersebut berpengaruh terhadap orang
lain.
Makna
pilar ke empat ini adalah muara akhir dari tiga pilar pendidikan diatas. Dengan
pilar ini , peserta didik berpotensi menjadi generasi baru yang berkepribadian
mantap dan mandiri (Aezacan, 2011).
C. Garis
Besar Mengenai ke Empat Pilar Pendidikan UNESCO
1.
Kekuatan
Keempat
pilar pendidikan tersebut dirancang sangat bagus, dengan tujuan yang bagus
pula, dan sesuai dengan keadaan zaman sekarang yang menuntut pesera didik
tidak hanya diajarkan IPTEK, kemudian dapat bekerja sama dan memecahkan
masalah, akan tetapi juga hidup toleran dengan orang lain ditengah-tengah
maraknya perbedaan pendapat dimasyarakat. Dengan ke kempat pilar ini akan
bisa tercapai pendidikan yang berkualitas.
2.
Kelemahan
Meskipun
ke empat pilar pendidikan ini dirancang sedemikian bagusnya, namun perlu diingat,
masih banyak aspek penghalang dalam pelaksanaan tersebut,
seperti kurangnya SDM guru yang benar-benar “mumpuni”, perbedaan pola
pikir setiap masyarakat atau daerah dalam memandang arti penting pendidikan,
kemudian ada lagi fasilitas, fasilitas yang masih minim akan sangat menghambat
kemajuan proses belajar mengajar, dan kendala-kendala lain.
3.
Peluang
Apabila
pendidikan di Indonesia diarahkan pada ke empat pilar pendidikan ini, maka pada
gilirannya masyarakat Indonesia akan menjadi masyarakat yang bermartabat di
mata masyarakat dunia.
4.
Ancaman
Keempat
pilar pendidikan UNESCO ini bisa menjadi bumerang bagi
peserta didik dan pengajar apabila tujuan atau keinginan yang hendak
dicapai tidak kunjung terwujud. Bisa jadi akan muncul sikap pesimis dan putus asa
kehilangan kepercayaan diri.
Keempat
pilar pendidikan sebagaimana dipaparkan di atas, sekaligus merupakan misi dan
tanggung jawab yang harus diemban oleh pendidikan. Melalui kegiatan belajar
mengetahui, belajar berbuat, belajar hidup bersama dan belajar menjadi
seseorang atau belajar menjadi diri sendiri yang didasari keinginan secara
sungguh-sungguh maka akan semakin luas wawasan seseorang tentang pengetahuan,
tentang nilai-nilai posifit, tentang orang lain serta tentang berbagai dinamika
perubahan yang terjadi. Kesemuanya ini diharapkan menjadi modal fundamental
bagi seseorang untuk mampu mengarahkan dirinya dalam berprilaku positif
berpijak pada nilai-nilai yang dia yakini kebenarannya, dan pada gilirannya
akan semakin terbuka pikiran untuk melihat fakta-fakta yang benar dan yang
salah, suatu tindakan yang sesungguhnya merugikan ataupun membawa kemajuan bagi
diri dan orang lain. Kemampuan-kemampuan tersebut juga akan membekali individu
untuk mampu melihat secara nyata betapa konflik dan pertikaian-pertikaian telah
memberikan banyak kerugian di dalam tatanan kehidupan masyarakat dan bangsa,
dan merugikan diri serta lingkungannya. Pada sisi lain seseorang juga akan
mampu melihat bagaimana suasana yang harmoni dapat memberikan kenyamanan dan
ketentraman dalam hidup, sehingga memberikan banyak kesempatan bagi suatu
masyarakat dan bangsa mencapai kemajuan-kemajuan yang lebih berarti bagi semua
orang.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Pilar-pilar
pendidikan tersebut dirancang dengan sangat bagus dan dengan tujuan yang sangat
bagus pula. Dengan mengaplikasikan pilar-pilar tersebut, diharapkan pendidikan
yang berlangsung di seluruh dunia termasuk Indonesia dapat menjadi lebih baik. Namun masih banyak aspek penghalang
dalam pelaksanaan tersebut, baik mengenai SDM nya,
fasilitasnya, perbedaan pola pikir setiap masyarakat atau daerah dalam
memandang arti penting pendidikan, dan kendala-kendala lain.
Persoalan
pendidikan merupakan tanggung jawab kita bersama, karenanya tentu secara
bersama-sama pula kita mencari alternative pemecahannya. Mudah-mudahan ke empat
pilar tersebut dapat kita realisasikan dan akan nampak hasinya.
Mari
melakukan introspeksi diri sejauh mana kita sudah melakukan yang terbaik
untuk perubahan dan perbaikan terhadap persoalan pendidikan yang melilit negeri
ini.Satu harapan kita semua, agar dunia pendidikan di Indonesia bisa menjadi
lebih baikdan berkualitas.
Majulah
pendidikan indonesiaku……..
B.
Saran
Mewujudkan
kondisi ideal potret pembelajaran yang kreatif, bukanlah hal yang mudah
lantaran munculnya beragam fenomena aktual dalam dunia pendidikan sangat
dibutuhkan guru yang bersungguh-sungguh mengembangkan kompetensinya, baik
kompetensi personal, profesional, dan kemasyarakatan.
Oleh karena itu, guru diharapkan lebih
kreatif di dalam mendesain proses pembelajaran, sehingga ada perpaduan yang
sinergis antara hasil pembelajaran dengan kecakapan hidup (life skill).
Kerjasama dan koordinasi antara seluruh
komponen sekolah dipandang perlu agar masing-masing komponen sekolah dapat
memberikan kontribusi secara maksimal, dalam menumbuhkan tunas-tunas muda
harapan bangsa.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Warsita
(2008:85) “Pembelajaran adalah suatu usaha untuk membuat peserta didik belajar
atau suatu kegiatan untuk membelajarkan peserta didik”.
2.
UU
No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas Pasal 1 Ayat 20 “Pembelajaran adalah proses
interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu
lingkungan belajar”.
3.
Sudjana
(2004:28) “Pembelajaran dapat diartikan sebagai setiap upaya yang sistematik
dan sengaja untuk menciptakan agar terjadi kegiatan interaksi edukatif antara dua pihak, yaitu antara peserta
didik (warga belajar) dan pendidik (sumber belajar) yang melakukan kegiatan
membelajarkan”.
4.
Corey
(1986:195) “Pembelajaran adalah suatu proses dimana lingkungan seseorang secara
disengaja dikelola untuk memungkinkan ia turut serta dalam tingkah laku
tertentu dalam kondisi-kondisi khusus atau menghasilkan respons terhadap
situasi tertentu, pembelajaran merupakan subset khusus dari pendidikan”.
5.
Dimyati
dan Mudjiono (1999:297) “Pembelajaran adalah kegiatan guru secara terprogram
dalam desain instruksional, untuk membuat siswa belajar aktif, yang menekankan
pada penyediaan sumber belajar”.
6.
Trianto
(2010:17) “Pembelajaran merupakan aspek kegiatan manusia yang kompleks, yang
tidak sepenuhnya dapat dijelaskan”. Pembelajaran secara simpel dapat diartikan
sebagai produk interaksi berkelanjutan antara pengembangan dan pengalaman
hidup. Pembelajaran dalam makna kompleks adalah usaha sadar dari seorang guru
untuk membelajarkan siswanya (mengarhkan interaksi siswa dengan sumber belajar
lainnya) dalam rangkan mencapai tujuan yang diharapkan.
0 komentar:
Posting Komentar